BERTAHUN-TAHUN saya hanya selalu pulang kampung dalam durasi yang pendek saja. Seingat saya , dalam pulang yang setahun sekali itu, tak pernah lebih dari hanya lima hari saja.
Suatu sore di bulan ramadhan ketika pulang kampung, saya berniat membeli buah untuk buka puasa. Menujulah saya ke pasar Reboan. Sungguh, pasar ini memiliki nilai sejarah yang lumayan dalam bagi saya. Karena, enam tahun saya akrab blusukan di pasar yang saban hari selalu ramai, walau yang teramai tentulah di hari Rabu. Karenanya ia dinamakan Reboan.
Ya, karena sekolah saya hanya beberapa meter dari situ. Kenapa enam tahun? Penjelasannya; tiga tahun ketika SMP dan tiga tahun saat Madrasah Aliyah.
Sore itu saya mencari pedagang yang paling ramai. Karena menurut saya, yang paling ramai tentulah yang paling lengkap dagangannya, sekaligus dengan harga yang lebih murah.
Dalam kerumunan pembeli itu saya bergabung. Memilih beberapa nanas, mangga juga sebutir semangka.
“Berapa harga semua?” tanya saya.
Si pedagang, seorang perempuan gemuk, bersarung, dan berambut keriting memandang saya.
“Hei, kamu Edi, kan? Kapan datang. Wah, lama kita tak bertemu,” kata-kata itu begitu lancar melaju dalam bahasa Jawa logat Madura.
“Iya, aku Edi,” ucapan itu memang harus dikeluarkan. Walau, sumpah, saya tak tahu siapa si penjual buah itu.
“Kamu pangling aku ya?”
Tarikan panjang nafas saya sebagai pembetul ucapannya.
“Aku Romlah. Siti Romlah, teman SMPmu dulu,” riang betul kalimat itu meluncur..
Sore itu begitu menggembirakan. Pertemuan dengan seorang teman yang bertahun-tahun tak jumpa, adalah gembira pertama. Gembira berikutnya, saya membayar buah-buah pilihan saya itu jauh dibawah harga pasaran.
Kali lain saya hendak mengunjungi bibi di desa Grenden, di kecamatan Puger. Begitu turun dari angkutan umum, saya menyeberang jalan menuju rumah adik ibu saya itu. Sebelum jembatan, dikiri-kanan jalan ada beberapa toko berjajar.
“Ed,” ada suara memanggil dari arah kiri saya. Saya kira itu berasal dari dalam salah satu toko.
Saya memperlambat langkah. Tetapi belum menoleh. Takut salah kira. Ini karena saya menyadari nama Edi sungguh sebagai nama pasaran. Iya kalau betul suara itu memanggil saya, kalau Edi yang lain bagaimana?
“Edi,” sekali lagi panggilan itu terdengar.
Saya menoleh. Ke kanan. Jangan-jangan ada orang lain disana. Kosong. Mau tak mau saya menoleh ke kiri. Dan disambut kibas lambaian tangan bertubi-tubi.
“Kamu Edi Winarno, kan?”
Saya jawab tanya itu dengan anggukan kepala, juga bertubi-tubi.
Tetapi, sungguh, saya tak mengenal pemanggil yang sekarang berada persis didepan saya ini.
“Aku Pri,” katanya berusaha menggugah ingatan saya.
“Pri? Pri siapa ya,” saya menautkan sepasang alis.”Apa kita dulu sekelas? Saat SMP atau Aliyah?”
“Ya, kita dulu sering sekelas, di Aliyah."
"Ohya?"
"Iya, aku gurumu.”
Wadduh. *****
*) pangling: lupa.
untung saya belum bertindak kasar :-O
BalasHapushekekekekek.....
Ya, masih untung saya. Tetapi ada juga tidak untungnya; saya ini ternyata sangat pelupa.
BalasHapus