"SAYA suka cerpen-cerpen Mohammad Diponegoro. Banyak kejutan muncul di sana. Hebatnya, kejutan-kejutan terbaik muncul di ujung cerita dengan alasan yang terkadang sulit ditebak sejak dari paragraf pertama. Kontrol yang kuat atas jalannya alur cerita menyebabkan pembaca selalu terjebak dalam perkiraan yang salah. Itulah peristiwa penting di akhir cerita yang disebut dengan “akhir-luar-duga.”
Seno Gumira Ajidarma juga menggunakan teknik seperti ini pada beberapa ceritanya. Sebutlah misalnya cerpen “Manuel” dalam buku kumpulan “Saksi Mata”. Saya suka sekali kejutan dalam cerita itu. Ya, kejutan itu tak ubahnya tamparan dalam sedetik setelah dielus-elus selama satu jam. Begitulah kejutan yang digemari dalam cerita rekaan, namun sangat ditakutkan bila terjadi dalam kenyataan,” begitu, (panjang) lebar sahabat (maya) saya mengomentari salah satu tulisan saya di FB.
Sungguh, saya bukan pembaca yang baik. Makanya, kalau sahabat tadi menyebut dua nama cerpenis kondang diatas, saya merasa asing saja. Bukan apa-apa. Tetapi karena saya memang ‘belum akrab’ dengan tulisan-tulisan beliau. Disudut lain, kalau saja beberapa tulisan saya ‘nyaris’ sebagai gaya ‘akhir-luar-duga’ (wah, GR nih!), entahlah kenapa. Saya hanya menulis saja. Suka saja dengan cara mengejutkan begitu.
Tidak ada kebetulan yang benar-benar betul. Pasti ada yang memengaruhi sebuah gaya. Sekali lagi, entahlah.
Yang jelas, saya dulu suka membaca gaya Arswendo Atmowiloto yang saban Selasa (kalau tidak salah ingat) saya temui di (alm) Monitor. Juga, Veven Sp Wardhana yang sesekali juga nongol di tabloid yang sama. Selebihnya, saya suka Markesot Bertutur-nya cak Nun. Yang kala itu rutin nongol di Surabaya Post. Atau sesekali membaca Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohamad lewat majalah Tempo edisi bekas. Belakangan ini saya agak sering membaca tulisan-tulisan Prie GS dan AS. Laksana. (Tentang istilah majalah bekas, buku bekas dan sejenisnya, kok saya kurang setuju. Tidak ada yang bekas, saya kira, untuk barang-barang cetakan begitu. Hanya edisi lama, tetapi bukan bekas menurut saya. Buktinya, saya tetap saja menikmati dan bisa mendapatkan ‘sesuatu’ ketika membaca majalah Intisari terbitan belasan tahun lalu, misalnya. Majalah, buku dan sejenisnya itu laksana guru. Tak patut saya menyebut bekas untuk seorang guru SD saya. Beliau tetap guru saya. Bukan bekas guru saya.)
Tentang teknik ‘akhir-luar-duga’ ini rupanya juga digunakan anak sulung saya. Hal ini saya dapati ketika hari Minggu pagi saya bersama dia dan si bungsu jalan-jalan ke kawasan industri Rungkut (SIER) yang memang hanya berjarak tak lebih dari 75 meter dari rumah saya.
Dalam jalan-jalan pagi itu, diantara lalu-lalang orang-orang berolahraga, si sulung bercerita kepada saya,
“Bapak, aku punya cerita,” katanya.
Sambil menuntun si bungsu saya bersiap mendengarkan.
“Cerita ini berisi empat kisah keseharian anak dan bapaknya,” ia melanjutkan. “Pertama; ketika berangkat sekolah si anak diantar oleh bapaknya memakai motor. Sampai di suatu persimpangan, si bapak belok kanan,padahal arah sekolah ke kiri. “Lho, pak. Kok ke kanan, kan sekolahku kekiri,” si anak protes. “Kan terserah bapak. Yang pegang kemudi kan bapak.” Itu kisah pertama. Kisah kedua; keesokan harinya, pada suatu sore si anak diminta bapaknya membelikan kopi di warung dekat rumah. Tetapi lama ditunggu belum datang juga. Begitu datang, ” Beli kopi dimana kamu kok lama sekali?” tanya bapaknya. “Ke minimarket,” jawab si anak. “Kan bapak suruh ke warung sebelah, kenapa ke minimarket yang lebih jauh?” protes bapaknya. “Kan terserah saya. Yang berangkat beli kan saya.” Itu kisah kedua. Sekarang kisah keempat...”
“Lho kok langsung keempat, yang ketiga bagaimana?” saya protes.
“Lho, kan terserah aku. Yang cerita kan aku,” jawab anak saya sambil cekikikan. “Kena, deh,” imbuhnya.
Uh, semprul!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar