“NASI goreng.”
Itu jawaban yang selalu saya sampaikan bila ditanya apa makanan favorit saya. Walau begitu, belum pernah saya mengeluarkan uang lebih dari sepuluh ribu demi seporsi nasi goreng. Lidah saya sudah sangat kompak dengan dompet saya.
Nasi goreng seharga enam ribuan yang saya beli di gang sebelah, sudah sangat nikmat bagi lidah saya. Kalaulah lidah saya sudah pengalaman dengan aneka nasi goreng, itu bukan perkara harga. Tetapi lebih kepada jenis yang pernah dirasakannya. Mulai nasi goreng berbahan baku beras putih, nasi jagung sampai nasi goreng berbahan gaplek. Ya, nasi tiwul kalau digoreng laziz juga, lho!
Untuk urusan membuat nasi goreng, emak saya ahlinya. Dulu, menu ini sering saya dapati sebagai sarapan menjelang berangkat sekolah. Nasi goreng nyel. Tanpa telur. Tanpa kecap atau saos tomat. Tetapi pedasnya luar biasa. Karena emak selalu menyertakan beberapa lombok impling kedalam bumbunya. Lombok jenis super pedas itu diuleg dalam satu kloter dengan bawang merah, bawang putih, garam, daun jeruk purut di satu cobek. Lombok itu tidak sebagai lalap seperti lazimnya.
Lalu, sreeengg.... semua bumbu itu, plus nasi sisa kemarin, digoreng memakai minyak jlantah bekas menggoreng ikan asin. Aroma yang mengembara keluar dapur, sungguhlah laksana asap dari dapur sorga.
Belakangan saya tahu kenapa emak memasaknya begitu. Karena nasi sebagai bahan bakunya itu, sudah setengah mambu. Sudah agak jemek. Dengan dipedaskan, basi itu menjadi tak terasa. Tidak sakit perut? Mana bisa sakit perut. Wong biang penyakitnya yang bersembunyi didalam nasi basi itu sudah tewas duluan karena kepedesan.
Makanya sampai sekarang, kalau saya lihat ada nasi keleleran tak termakan, sampai nyaris basi, saya nelangsa. Ditangan emak, ia bisa menjelma sebagai nasi goreng 'spesial' lezat nan pedas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar