Ajining dhiri saka lathi, ajining raga saka busana.
Sebaris kalimat tadi adalah peribahasa Jawa yang pertama saya terima di bangku sekolah dasar. Terjemahan bebasnya; berharganya diri seseorang dinilai dari tuturkatanya, berharganya tubuh seseorang dinilai dari busana yang dikenakannya.
Untuk jenis pertama, saya bisa temukan padanan dalam kalimat; mulutmu harimaumu. Untuk kalimat ajining raga saka busana, saya gagal menemukan padanannya. Tetapi bisa menunjukan contoh nyata. Begini, suatu hari saya melintas di jalan Wonokromo ke arah Bonbin. Karena palang pintu KA sedang tertutup di dekat RSI. Bersama sekian banyak pengendara saya berhenti. Suara ting-tung,ting-tung disusul pemberitahuan dari speaker agar pengguna jalan mendahulukan kereta api menjadi suara lain yang terdengar diantara deru mesin sekian banyak mobil dan (mungkin) ribuan motor.
Beberapa saat dalam suasana begitu. Saya melempar pandang kesana-kemari. Dan, didekat pos petugas KA, saya dapati lelaki yang wajahnya saya kenali. Berjalan membawa buntalan di pundaknya. Berbaju rapi, bercelana rapi. Berjalan normal. Normal? Iya, stidaknya ia tidak seperti ketika beraksi didekat lampu merah Jemursari.
Kalau di Jemursari, lelaki itu rela berjemur-jemur ria, ngesot, dengan lutut dibebat perban kotor kumal. Menadahkan tangan ke para pengendara, dengan balutan wajah memelas. Hasilnya, beberapa lembar ribuan dan gemerincing rasa iba dilempar ke arahnya. Ia 'pemain sandiwara' yang fasih. Dengan penjiwaan yang total. Dengan kostum yang mendukung. Kecerdasan lainnya, ia tahu dalam menempatkan diri. Ia 'empan papan', menurut istilah Jawa.
Ketika mengemis berkumal ria, namun dalam keseharian, oh tunggu dulu. Raga harus dihargakan. Karena, ajining raga saka busana.
Suatu kali saya diajak seorang teman yang bagian purchasing untuk membeli barang yang saya butuhkan. Karena barang itu harus sama persis dengan yang akan diganti, si staf purchasing itu sampai perlu mengajak saya agar tidak keliru beli. Untuk membeli barang itu, sasaran yang dituju sudah jelas; jalan Baliwerti.
Setelah surat jalan dan sejumlah uang kami terima, meluncurlah kami keluar kantor. Langsung ke Baliwerti? Tentu tidak. Karena si teman tadi mengajak saya mampir kerumahnya dulu di Dukuh Pakis. Untuk apa? Ganti kostum.
Setelah sekian lama di bagian purchasing, ia tahu betul, para penjual sering menjual barang dengan harga lebih mahal kepada pembeli yang berdandan rapi. Dan akan memberi harga miring kepada yang berdandan compang-camping, sekalipun jenis dan mutu barang sama.
Begitulah. Sekali lagi; ajining dhiri saka lathi, ajining raga saka busana. Kalau ajining fesbuker? Saka status!
Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar