KALAU sedang ingin makan mi pangsit, saya punya trik. Begitu datang, saya langsung menuju tempat cuci mangkok. Mulailah saya korah-korah. Mencuci mangkok, sendok-garpu juga gelas-gelas bekas tempat makan-minum para pelanggan. Selepasnya, si penjual langsung menawari saya makan mi secara cuma-cuma. Gampang, bukan?
Iya,karena si penjual itu adalah adik ipar saya. Yang sudah sekian lama menekuni usaha berjualan mi pangsit disebuah gang disudut Rungkut. Dulu, menurut ceritanya, ia tak jualan menetap begini. Tetapi berkeliling. Masuk gang keluar gang. Itupun jualannya sistem setoran, bukan usaha sendiri.
Tetapi, jiwa wirausahanya muncul ketika kesetiaan pelanggan sudah terbentuk. Menurutnya, para pelanggan tentu tidak mengenal juragannya. Sang pembeli setia lebih mengenalnya ketimbang si bos. Maka, ia mengundurkan diri dari sistem setoran itu, dan membuka usaha mi pangsit secara mandiri. Hasilnya? Alhamdulillah, setiap harinya mi buatan sendiri berbahan lima belas kilogram tepung terigu habis terjual. Hanya sesekali keuntungan berkurang seharga semangkok mi saat si kakak ipar pura-pura mencuci mangkok!
Kemarin, saya besandiwara begitu lagi demi semangkok pangsit. Tetapi,ketika saya melihat dinding tempat jualannya, ada yang tak biasa. Ketika tempo hari saya kesitu, tulisan itu belum ada. Masih dalam angka lama; 4000. Kemarin itu, angka kedua dari depan di-urek-urek sebagai angka lima. Maknanya, harga seporsi mi pangsit naik lima ratus rupiah. Hal yang lumrah terjadi sekitar setiap dua tahun sekali. Dan itu diputuskan secara berjamaah antar sesama pedagang mi. Seperti para pedagang nasi goreng yang semua menempelkan stiker tarif baru; 7000 dari harga semula yang 6000.
Kenaikan harga itu hal biasa. Yang tak biasa adalah ketika pendapatan si pembeli tak berbanding lurus dengan harga baru itu. Dampaknya, urusan makan mi bisa tidak masuk dalam anggaran pendapatan dan belanja keluarga. Beberapa saat si pembeli akan menjaga jarak. Walau kemudian akan pulih lagi. Inilah uniknya bisnis makanan. Ketika lidah sudah kadung jatuh cinta pada mi pangsit dan atau nasi goreng buatan cak anu, pastilah ia akan mendatanginya lagi walau tak sesering dulu.
Sebenarnya saya hanya ingin menulis begini; ketika harga-harga naik, naikkan pula harga kita. Caranya, kita harus memantaskan diri dihargai lebih. Naikkan skill, naikkan kapasitas dan kapabelitas. Kalau di tempat kita ini belum mampu menaikkan sesuai kenaikan barang-barang kebutuhan kita (sekalipun itu hanya semangkok mi pangsit) carilah tempat lain yang lebih memberi harga lebih kepada kita. (Jujur,kalimat yang saya tulis barusan itu bukan orisinil bikinan saya. Ia hanya sebagai terjemah bebas dari ucapan pak Mario Teguh yang pernah saya tonton pada program Golden Ways di sebuah stasiun televisi)
Semudah itukah meloncat ketempat baru mencari 'rumput yang lebih hijau'? Entahlah. Tetapi, untuk sekedar makan semangkok mi pangsit secara gratis, bagi saya tentulah mudah. Saya sudah punya rumusnya. Cukup dengan mau korah-korah.
Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar