PELANDANG demikian di kampung istri saya dibilang. Kalau di desa asal saya disebut rewang, mrabot atau apalagi ya, maaf lupa. Intinya, gotong royong antar tetangga dalam membantu orang yang sedang punya hajat. Dan semua itu adalah ngayah, alias tanpa upah.
Di kampung, suksesnya gelaran hajatan ya oleh para sinoman itu. Walau tanpa EO, biasanya telah terseleksi secara alami siapa akan kebagian tugas apa. Mulai terima tamu, bagian konsumsi dan lain sebagainya. Ohiya, tidak semua gratisan, ada peran yang secara tradisi relatif berbayar. Kepala juru masak dan tukang seduh kopi.
Hajatan zaman sekarang terbilang lebih simpel. Lebih praktis. Dari A sampai Z tinggal diserahkan event organizer, beres. Zaman dulu mana ada begitu. Apalagi di kampung.
Jauh hari sebelum hari H, telah dilakukan persiapan. Bikin ruang dapur, salah satunya. Walau dipakai secara temporer, dapur itu luas ukurannya. Biasanya letaknya di belakang rumah. Maklum, di kampung biasanya lahan masih ada.
Ketika dapur bertiang bambu dan beratap kepang, anyaman daun kelapa, telah berditi, selanjutnya membuat pogo. Pogo, semacam rak untuk menyimpan alat masak dan sebagainya.
Berbarengan dengan pembuatan dapur, pelandang yang lain mempersiapkan kayu bakar. Semakin besar hajatan digelar, nanggap wayang kulit atau ludruk misalnya, tentu kayu bakar dan segala uba rampe-nya juga menyesuaikan.
Tiga hari menjelang hari H, adalah saat bikin jenang. Jenang bukan sembarang jenang. Berkilo-kilo bahan, tepung beras ketan, santan dari sekian banyak kelapa dan gula diaduk pada jedi, wajan berukuran besar. Bukan hanya satu jedi, tapi dua. Awalnya para ibu yang mengaduk. Karena masih encer, tentu enteng. Makin lama adonan pada jedi di atas bara api itu makin mengental. Makin butuh tenaga.
Saatnya para pria beraksi. Satu jedi ditangani tiga empat orang. Bersenjata pengaduk panjang. Dari bilah bambu yang dibentuk khusus. Dua jedi, dengan demikian, butuh delapan orang.
Dengan durasi memasak jenang yang seharian, dari pagi hingga sore menjelang, tentu butuh sekian banyak orang secara bergantian.
Begitulah. Waktu-waktu berikutnya, sampai hati H dan juga setelahnya, sekian banyak orang terlibat.
Capek, tentu saja. Tapi guyup-rukun adalah kuncinya. Capek tenaga, kurang tidur dan lain-lain akan ditutup oleh rasa syukur ketika hajatan terlaksana dengan lancar jaya.
Bubur sumsum |
Sebagai penawar dari segala jerih payah pada acara rewang tersebut, agar segala rasa capek hilang, biasanya akan dibuatkan bubur sumsum. Dibagikan kepada semua yang terlibat. Rata.
Entahlah, tradisi makan bubur sumsum bersama setelah selesai ini apakah juga dikenal oleh para wedding organizer ya? ****
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar