SORE yang
mendung. Saya ada di deret lumayan belakang pada antrean agak panjang
di SPBU Mayjen Sungkono ke arah Adityawarman. Sambil menunggu
giliran, mata saya tertuju pada sesosok ibu berkain panjang,
berkebaya dan berkerudung yang duduk di dekat pengisian
angin/nitrogen dekat pintu keluar SPBU. Semula saya duga ia adalah ibu
dari seseorang yang juga sedang antre mengisi BBM. Sebuah dugaan yang
sejauh ini keliru. Karena, hingga saya mendekati giliran, tak seorang
pengendara pun menghampirinya untuk melanjutkan perjalanan.
Selesai mengisi
tanki kendaraan, saya dekati ibu itu yang di wajahnya terbaca sebagai
perpaduan antara ragu dan malu.
“Menunggu siapa,
Bu?” saya bertanya.
“Tidak menunggu
siapa-siapa,” jawabnya.
“Lalu, kenapa Ibu
disini?”
“Saya mengemis...”
Selembar uang sekian
rupiah saya berikan, setelah sekian detik tertegun mendengar jawabannya, lalu melajukan kendaraan meninggalkan SPBU.
Meninggalkan si Ibu, pengemis pemalu (karena pemula?) yang sepertinya
melakukan itu karena terpaksa.
Sore kian turun dan,
seperti biasa, beban pundak jalanan kota makin berat oleh volume kendaraan yang makin
sarat. Lampu-lampu yang mulai menyala, menyalakan pula tanya tentang
Ibu tua itu. Diantaranya; kemana suami dan anak-anaknya? *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar