SEMAYI
adalah nama sejenis botok tetapi tiada udang, tempe atau jamur
dan bahan lainnya sebagai isi. Ia hanya botok dengan bahan
utama kelapa diparut yang tampil secara solo. Iya sih ada
bumbunya, dan bumbu itu sebagaimana layaknya bumbu botok. Seingat
lidah saya, rasa utama ketika dimakan adalah pedas. Parutan kelapa
nyaris sudah tiada rasa kelapanya, sepo. Karena ia adalah
parutan kelapa yang telah tiada santannya. Santan telah diperas untuk
dipakai memasak lodeh gori, nangka muda.
Nasi
aking (karak) yang dikrawu berteman semayi adalah menu yang
tidak jarang mengisi perut saat saya kecil. Nikmat sekali. Dulu kami
makan begitu karena keadaan, kini saya kembali ingin menikmatinya
lagi karena kerinduan.
Tetapi,
di kota ini, dimanakah saya bisa membeli semayi dan nasi aking
dikrawu? Tentu tidak ada, selain membuatnya sendiri. Tentu saya bisa
meminta dibuatkan menu itu kepada emaknya anak-anak, namun
sebagaimana menu lainnya, hidangan apa pun adalah bukan tandingan
bila dibanding masakan ibu. Lebih-lebih bila makanan itu didapat dari
membeli. Kenapa? Karena makanan yang dibeli dari restoran atau warung
makan unsur utama ketika dimasak adalah berdasar hitungan uang,
sementara masakan ibu untuk keluarganya dimasak selalu dengan bumbu
utama bernama kasih sayang.
Sekarang
bulan Syafar, sebagai lidah yang kolokan, kok ya sempat-sempatnya ia
merindukan jenang sapar, begitu kami menyebutnya. Berbeda
dengan jenang Suro yang berbahan beras putih, penganan ini
berbahan tepung ketan yang hanya ada di bulan Syafar. Adonan tepung
ketan itu dibentuk bulatan-bulatan kecil (makanya juga disebut jenang
grendul) dipadu gula merah dan santan. Hmm, aroma pandannya
menggoda, semenggoda sensasi nyeplus bulatan ketan yang
kenyil-kenyil, kenyal. Saat dikunyah rasanya nano-nano; ada
manis, ada asin, ada gurih, ada-adaaa aja.... (Hmm, mak cleguk..)
Nah,
demi menuruti kerinduan lidah, saya mencari si jenang sapar
itu ke pasar. Tidak seperti di awal Syawal yang banyak sekali penjual
ketupat, di bulan Syafar tidak saya temukan seorang pun penjual
jenang sapar. Padahal kalau di kampung saat masa kecil dulu,
di bulan Syafar begini, antar tetangga saling antar jenang sapar.
Makanya kita bisa makan penganan itu gratis tanpa bayar. Pagi
kemarin itu saya meninggalkan pasar dengan tanpa berhasil membuat
kerinduan sang lidah terbayar
Namun,
dasar rejeki anak bapak sholeh, saat datang ke
tempat kerja, ada seorang teman yang baru pulang kampung membawa
sebungkus agak besar jenang sapar. Lumayanlah, walau hanya memakan
satu-dua sendok (demi agar jenang segitu bisa dimakan semua teman),
paling tidak kerinduan lidah saya sudah relatif terobati. *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar