Jumat, 22 Maret 2019

R e w a n g

Suasana rewang  dibuat sebagai
status WA oleh istri saya.
MALAM sudah sangat larut. Ibu-ibu yang tadi sibuk bikin aneka olahan di teras rumah saya sudah pada pulang. Untuk besok pagi datang lagi.

Sambil tiduran saya membuat tulisan ini. Tiduran di lantai ruang tamu. Yang sesak oleh tumpukan ini-itu. Persiapan keperluan tetangga depan rumah yang besok punya hajat. Mantu.

Aroma ruang tamu saya laksana aroma dapur perusahaan katering. Ada adonan bumbu rawon, soto dan entah apa lagi. Beginilah hidup di kampung. Yang punya hajat satu orang, yang rewang, yang bantu-bantu, orang satu gang. Ada yang ketempatan jajan, ada yang ketempatan stok air minum, ada yang ketempatan sebagai dapur (seperti di teras dan halaman rumah saya ini).

Suatu hari salah seorang staf sebuah kantor di Bali tidak masuk kerja. "Kemana Bu Nengah kok hari ini tidak masuk?", tanya saya.

"Bu Nengah hari ini ngayah", Mbak Wayan menjawab. "Bapak ngerti ngayah?"

Sebelum saya menjawab, Mbak Wayan menerangkan," Ngayah itu bantu-bantu tetangga yang lagi ada hajatan tapi tak dibayar".

Persis sama dengan istilah Jawa di kampung saya. Termasuk saat kami orang satu gang pada ikutan sibuk bantu-bantu tetangga yang besok hajatan ini.

Serepot-repotnya sekarang, tak serepot orang punya hajat tempo dulu. Saat saya kecil. Di desa. Yang kalau akan menggelar hajatan, hitungan repotnya bukan sekadar hari. Tapi bulan. Dan setiap yang datang membantu, walau tak dibayar, tentu dikasih makan. Juga rokok. Tentu perlu biaya mahal. Tapi kebersamaan, gotong-royong, itu tentu tak ternilai harganya.

Kini, semua serba cepat. Juga simpel. Tendanya sistem knock-down. Cepat sekali bongkar-pasangnya. Dibanding dulu. Yang tendanya masih pakai tiang bambu. Atapnya dari anyaman blarak, daun kelapa. Kursinya juga, masih pinjam punya tetangga. Beberapa hari sebelum hari H, ada yang kebagian tugas mencari sekian banyak daun jati. Untuk pembungkus songgongan, bingkisan berisi nasi lengkap dengan lauk dan jajanan.  Kini semua tersedia. Di tempat persewaan alat pesta. Minta yang model apa. Minta yang harga berapa.

Ada lagi yang lebih praktis. Yang punya hajat tak perlu repot. Tinggal diserahkan ke EO. Segala macam urusan. Dari A sampai Z.

Dengan membayar EO, menjadikan tetangga kanan-kiri tak perlu ikut repot ngayah, ikut rewang. Ketempatan ini-itu. Namun yang ikut 'repot' beginilah yang saya suka. Bahwa tak semua kudu dihargai dengan uang. Ada semacam tali yang mesti tak dilepaskan. Tali keterikatan. Bahwa, saudara terdekat adalah tetangga. ****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar