SECARA
pasti saya sudah lupa. Namun karena itu saya alami sebelum menikah,
perkiraan saya, itu terjadi kalau tidak tahun 97 ya tahun 98. saat
itu di kanan-kiri sekitaran pertigaan Rungkut masih semrawut, masih
banyak sekali lapak pedagang kaki lima. Lebih-lebih malam Minggu.
Berjajar di situ, mulai pedagang sepatu, baju, batu akik, bakso,
gorengan dan masih banyak lagi yang lainnya..♫♪....♫
Sekalipun
tidak berniat beli apa-apa, sesekali saya cuci mata ke situ. Di salah
satu pojok, tidak jauh dari jembatan kecil, berkerumun orang-orang
mengitari, saya duga, tukang jamu. Ini mengingatkan saya saat sekolah
dulu yang di jam istirahat (atau membolos) ke pasar demi melihat
atraksi sebutir telur yang bisa jalan sendiri. Sesuatu yang sampai
pasar tutup pun tak saya temui si telur benar-benar ngglundung
sendiri. Itu, saya kira, hanyalah taktik tukang jamu dalam menarik
perhatian orang.
Begitu
pula dengan yang malam itu saya lihat. Maka saya hanya berdiri saja,
tidak ikutan jongkok menyimak seperti beberapa pria itu. Namun, “Hei,”
lelaki perpakaian hitam, dengan gelang akar di tangan dan beberapa
biji akik di jarinya, menuding saya, “jangan berdiri, duduk.”
katanya.
Saya
menoleh kiri-kanan dan belakang, memastikan jangan-jangan kata-kata
itu ditujukan bukan kepada saya.
“Iya,
Sampeyan,” lelaki itu, yang rupanya pimpinan tukang jamu itu,
memastikan keraguan saya.
Entah
apa mantra yang diucapkannya, setelah itu , bersama beberapa pria di
barisan depan yang sedari tadi sudah duduk jongkok, kami ikuti saja
perintahnya; menjulurkan tangan, membuka telapak tangan, dan diminta
menggenggam dua butir batu akik.
Sambil
kami tetap menggenggam, si pria hitam itu terus berkoar-koar lewat
speaker Toa kecil bermulut segi empat. Karena geregetan atau apa,
seorang pria di sebelah saya melemparkan batu akik yang sedari tadi
digenggamnya.
“Hei,
tidak sopan itu,” si hitam naik pitam.
Setelahnya,
pria yang melemparkan akik itu mengerang tidak karuan; lalu
kesurupan. Ih, edan. Untunglah, dengan membisikkan mantra ke
kupingnya, si hitam itu mampu mengusir sesuatu yang menempelinya.
Lalu, “begitulah, tidak suka ya tidak suka. Tetapi harus punya tata
krama,” kata si hitam. “Saya bisa jadi dibegitukan tadi itu tidak
apa-apa. Tetapi penunggu akik itu yang tidak terima,” lanjutnya.
Mendadak
bulu kuduk saya berdiri grak. Saya berusaha tenang, paling tidak
berusaha terlihat tenang. Tetap menggenggam, sambil dalam hati terus
membaca rapalan yang saya bisa.
Satu
per satu kemudian kami ditanya, apa yang dirasakan saat menggenggan
sepasang batu akik itu. Ada yang bilang panas, ada yang merasa
dingin, ada yang seperti melayang, ada yang merasa tenaganya
tersedot. Ah, saya kok tidak merasakan apa-apa. Tetap merasa hanya
menggenggam batu. Maka, ketika tiba giliran saya yang ditanya, hal itu
pulalah yang saya katakan.
Mendengar
jawaban saya, pria hitam itu malah menepuk pundak lalu merangkul
saya. Kemudian, sementara asistennya melanjutkan atraksi, saya oleh
si hitam diajak ke belakang, agak menjahui kerumunan.
“Sampeyan
luar biasanya,” pujinya. “Hanya orang yang punya kekuatan linuwih
yang tidak merasakan apa-apa saat menggenggam sepasang akik bertuah
itu. Dalam pewayangan, Sampeyan saya anggap seperti Puntadewa...”
si htam itu terus saja bicara walau saya tidak mengerti jluntrungannya.
Sampai entah berapa lama, sampai ia menyerahkan sepasang akik itu untuk saya
dan berpesan agar saya merawatnya dengan baik.
Saat
pulang, saya diminta tidak mampir-mampir. Sesampainya di kost-kostan,
saya buka buntalan itu, dan mendapati ia adalah batu akik biasa. Yang
dasarnya saya memang tidak suka batu akik, saya tak bermaksud menjadikannya
sebagai jimat. Beberapa menit berselang, sesuatu yang tadi sempat saya rasakan berkurang tiba-tiba kembali datang; ingatan. Hal pertama yang saya raba adalah
saku belakang. Dompet. Dan, oh, di situ hanya tersisa duit seribu lima
ratus rupiah. Ya, gendam, saya telah kena gendam si lelaki bergelang akar. Harusnya, saat tadi
si hitam itu menepuk pundak, agar tidak mempan, saya balik menepuknya. *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar