
DI SEBUAH proyek, sekian belas tahun lalu, lelaki dengan suara khas itu sering bercanda dengan saya. Tetapi sering pula diselingi dialog-dialog serius bertopik agama. Dalam bidang itu, saya nilai, beliau termasuk mumpuni.
“Berkat beliau pula saya terentas dari jahiliyah,” begitu komentar seorang teman ketika pagi tadi saya kirimi ia foto si beliau dalam akun Efbi-nya.
Foto itu hasil jepretan saya ketika si lelaki bersuara khas itu tampil dalam program Klinik Islami di sebuah stasiun televisi. Kemarin malam itu, untuk kedua kalinya saya dapati si lelaki itu tampil di televisi yang sama. Tetapi memang itu sebagai tayang ulangnya. Ketika tayang perdana, saya tertegun dan tak kepikiran untuk mengambil gambarnya. Baru kemarin tergerak untuk melakukannya.
Dari tayang pertama yang disiarkan live itu saya tahu nomor HP nya. Tetapi tentu tak pantas saya menghubunginya ketika sedang on air.
“Edi yang dari Jember itu ya?” begitu balasan SMS yang saya terima, tigapuluh menit setelah siaran.
Ketika saya iyakan, meluncurlah guyonan-guyonan yang dulu pernah kami ketawai bersama. Ah, rupanya daya ingat beliau masih kuat. Buktinya, beliau masih ingat segala kebiasaan saya. Termasuk lagu yang sering (waktu itu) saya nyanyikan. Uh, sampai segitunya.
“Kenapa sampeyan tak kuliah?” tanya beliau suatu kali, dulu. “Kuliahlah. Pasti mampu. Itu si Ryan, buktinya bisa.”
Iya, Ryan itu juga seproyek dengan saya. Ia dan juga beliau adalah pekerja harian ikut kontraktor bidang pengecatan.
David, begitulah nama beliau yang saya kenal. Semua temannya, yang sebagian besar dari Indonesia Timur (termasuk si Ryan itu), memanggilnya pak David. Saya juga. Tetapi dalam siaran televisi beliau sekarang sebagai Abah Oyang. Lengkapnya lagi; Abah Oyang si ahli bekam. Sejenis pengobatan alternatif ala Islam.
Saya belum ingin menulis tentang bekam. Tetapi lebih kepada Abah Oyang.
“Ah, saya jadi ingat pemain bola top asal Inggris. Oyang Beckham,” tulis saya pada jawaban seorang teman yang mengomentari foto Abah Oyang di Efbi saya.
“Hahaha... David Bekam?” balasnya.

Berarti, mungkin untuk menilai seseorang, saya harus tanggalkan segala nilai masa lalu. Apa yang 'ada' saat ini, itulah yang ternilai.
Contoh terbaru ya si Michael Sata yang hari ini memenangkan pilpres di Zambia. Ya, sekarang ia presiden. Itu nilainya. Perkara dulu ia hanyalah tukang sapu di British Rail, London, itu masa lalu.
"Saya tak pernah mengeluh yang saya kerjakan. Saya ingin menyapu negeri saya, membuatnya lebih bersih dari yang saya lakukan di stasiun kereta api Anda," begitu katanya saat diwawancara The Telegraph.
Ia memang tukang sapu, dulu. Tetapi sambil bekerja kasar begitu, ia juga bersekolah di jurusan ilmu politik di sebuah perguruan tinggi di Inggris.
“Di bidang apapun kita bekerja, tidak lain kecuali mengharap kemulyaan hidup. Karena pada prinsipnya kerja adalah ibadah. Seluruh aktifitas adalah ibadah. Hidup adalah ibadah,” begitu SMS balasan yang saya terima setelah saya utarakan saya tetap begini, belum berubah.
"Saya kerja di proyek (bangunan) ya cuma saat itu. Hanya mencari pengalaman," kata beliau menjelaskan. "Dulu saya ini guru fisika. Juga pernah jadi kepala sekolah SMP."


Tunggu kedatangan saya pak David, eh Abah Oyang ding.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar