Senin, 31 Agustus 2020

Tilik: Reality Show Sesungguhnya

PETAN, mencari kutu rambut, dilakukan ibu-ibu di saat senggang. Setelah lelah dengan urusan kasur, sumur dan dapur. Membentuk lingkaran. Sehingga bisa saling petan kepala lain di depannya. Ketemu kutu, diceplus, atau digites, dipenyet diantara kuku jempol tangan kiri dan jempol tangan kanan. Ada satu bumbu pelengkap agar ritual mencari kutu rambut itu makin seru. Makin gayeng. Yaitu: rasan-rasan

Rasan-rasan, ngomongin orang lain yang tidak ada dalam lingkaran petan itu, teramat nikmat gurihnya. Ada banyak hal yang bisa dijadikan bahan rasan-rasan. Pun demikian juga sosoknya. Bisa dipetani segalanya. Seringkali kejelekannya. Dari ujung rambut sampai ujung kuku kaki. 


Mukaddimah
-nya bisa saja sederhana. Kemudian makin melebar secara liar. Misal, celetuk Yu Sam, "Apa benar si Fikri iku sesrawungan karo Dian?"

Dan percakapan pembuka rombongan Bu Tejo dalam perjalanan ke Rumah Sakit hendak tilik, menjenguk, bu Lurah (ibunya Fikri) yang lagi gerah, sakit itu mengalir lancar jaya. Terlihat tidak seperti sedang berakting.

Adegan berikutnya di lebih dua per tiga durasi film ini adalah aliran ghibah yang secara ethes dihamburkan oleh Siti Fauziah yang didapuk sebagai Bu Tejo. Fokusnya tentang Dian.

Dian, di lingkungan kita bisa jadi ada dalam nama lain. Perempuan modis yang entah kerja apa tetapi punya uang banyak sehingga mampu beli apa saja. HP type terbaru dari merek mahal. Baju, sepatu dan tas bermerek yang harganya tidak lumrah untuk ukuran lingkungan kelas menengah-bawah.

Begitu juga Bu Tejo. Sosoknya pasti juga ada di sekitar kita. Bisa jadi ia adalah tetangga depan rumah kita. Atau malah ia adalah istri kita. Atau bahkan suaminya istri saya. Ya, jangan-jangan kita (saya!) adalah pemilik tabiat Bu Tejo dalam sosok laki-laki. Semacam kesetaraan gender dalam berghibah.

Moda angkutan rombongan yang dipakai untuk menjenguk bukan rekaan. Ia nyata saya temui di kampung istri saya. Biaya sewanya murah, muatnya banyak; truk, atau trek dalam istilah orang desa. Si sopir, yang oleh bu Tejo dipanggil Gotrek, awalnya saya duga adalah wadanan, nama julukan, yang lazim dimiliki orang kampung dengan berbagai sebab. Saya punya tetangga yang dipanggil Pak Gudel walau sejatinya nama aslinya bukan nama anak kerbau begitu. Dan saya di desa oleh Pak Gudel itu dipanggil Edi Bendo karena dulu suka malam-malam trutusan mencari buah bendo.

Gotrek, yang dengan cerdas menghentikan laju truknya di sebuah masjid di pinggir sawah saat bu Tejo dan kawan-kawan kebelet pipis, adalah runtutan berikutnya dari Go-jek, Go-car. Sebuah ide yang barangkali juga pernah dipikir oleh Nadiem Makarim tapi malah dieksekusi dengan cantik oleh Ravacana Films.

Kembali ke soal rasan-rasan alias ghibah, dan Bu Tejo. Keduanya adalah nyata adanya. Di sekitar kita. Makanya, dalam tiga puluh empat menit durasi film Tilik ini, saya sedang tidak menyaksikan sebuah pertunjukan yang diatur agar tampak demikian. Saya lebih menikmatinya sebagai aliran kenyatan. Sebagai the real reality show.

Wahyu Agung Prasetyo sebagai sutradara dan semua kru Ravacana Films lainnya, yang semuanya adalah anak-anak muda, patut diacungi jempol. Film Tilik, yang saat saya membuat tulisan ini telah ditonton 20 juta lebih di kanal Youtube, adalah semacam pintu masuk agar khalayak tahu; ada banyak film pendek yang bagus karya sineas muda kita. 

Baiklah, mari kembali ke laptop! Menengok layar Tilik lagi:

Tentang ungkapan bahwa Yu San yang tidak khawatir suaminya tergoda oleh Dian karena anunya sudah tidak bisa attakhiyat, atau ungkapan Bu Tejo yang bilang secara spontan (tidak ada dalam naskah skenario) dadi wong ki sing solutip ngono lho, atau saat Bu Tejo pamer bintang di pundak saudaranya yang juga jadi polisi saat hendak ditilang petugas, atau (lagi) pembelaan Yu Ning bahwa belum tentu Dian demikian, adalah penyedap yang dicemplungkan laiknya dua-tiga lembar daun salam dalam sekuali lodeh nangka muda.

Mengenai ending yang bikin kecele karena Dian tidak seperti yang saya duga, adalah sebentuk kecele yang keren. Sebuah akhir luar duga seperti akhir cerita dalam cerpen-cerpennya Seno Gumira Ajidharma. 

Petuah lelaki tua kepada Dian agar ia selalu berhati dingin dan bersabar adalah nasihat yang benar. Nasihat yang bijak.


Namun, ketika Dian juga diminta percaya kepadanya? Oh, saya berpendapat; kalau bukan keledai, hanya garanganlah yang juga percaya kepada rayuan gombal seekor garangan gerang yang adalah sosok yang sempat disebut bu Tejo di pertengahan film secara pis-tipis. Itu ternyata clue.

Selebihnya? Tontonlah sendiri.***

(NB: Foto-foto adalah hasil tangkapan layar dari film Tilik).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar