SESERU-SERUNYA Pileg ( tentu
sampeyan paham ini bukan nama penyakit, hehe...), pilbub,
pilgub, pilpres dan pil-pil yang lain, bagi saya, tidak bisa
mengalahkan keseruan pemilihan kepala desa. Ini karena dalam
pemilihan kades, ada perang yang lebih tegang. Hubugan emosional yang
lebih kental adalah penyebabnya.
Bandingkan, coba, dengan caleg, cabub,
cagub dan ca-ca yang lain yang tiba-tiba pasang benyak poster
didesa-desa, lalu kemudian sok akrab dengan orang kampung. Sebuah
jalinan hubungan yang instan untuk sebuah tujuan yang tidak kalah
instan.
Sebagai cakades, pilkades lebih dari
itu.
Tiap hari kita sudah tahu solahnya. Tahu tabiatnya. Tahu track record-nya. Jadi, untuk menjadi kades, masa kampanye yang sesungguhnya adalah sepanjang masa. Bukan ujug-ujug. Tidak instan.
Tiap hari kita sudah tahu solahnya. Tahu tabiatnya. Tahu track record-nya. Jadi, untuk menjadi kades, masa kampanye yang sesungguhnya adalah sepanjang masa. Bukan ujug-ujug. Tidak instan.
Tetapi untuk urusan 'peluru' (baca:
money politic) dalam pemilihan kades juga bisa sebagai penentu
kemenangan. Oh, rupanya gelitik money politic sudah sedemikian
hebatnya di negeri ini. Siapa yang mencohtohkan, tentu sampeyan
sudah pada tahu.
Siapa bilang pileg gak pakai
itu? Siapa bilang pilpres tidak begitu? Siapa bilang cagub, cabub
tidak melakukannya? Ha?
Pilkades sekarang memang sudah
sedemikian maju. Tidak memakai gambar buah atau palawija untuk
lambang para calonnya. Sudah pakai poster. Dan, barangkali, juga
pakai konsultan politik yang sengaja dibayar untuk me-manage
segala pola kampanye demi sebuah kemenangan.
Suatu hari saya kedatangan tamu. Ia
adalah seorang tim sukses dari satu diantara dua calon yang maju pada
pilkades didesa saya. Walau ia pandai membumbui ucapan mukadimahnya
pada pertamuan itu, saya sudah bisa menebak tujuannya. Ia ingin saya
bisa menggiring seluruh keluarga saya untuk mencoblos calon yang
'dipegangnya'. Lumayan kan, ditambah adik ipar dan mertua dan istri
saya, kami mempunyai empat suara. Dalam pemilihan secara langsung
begitu, sesuara pun begitu berharga. Dan bisa jadi menjadi penentu
sebuah kemenangan
Tetapi untuk bisa sesuara, tentu harus
tahu sama tahu. Harus tidak gratis. Oh, ini bukan pakem saya.
Tetapi sang tim sukses itu yang punya pandangan begitu. Maka, malam
itu sesuara ia hargai 25 ribu. Kali empat, berarti seratus ribu telah
berpindah ke tangan kami.
Sekian hari kemudian, datang lagi tim
sukses dari calon yang satunya. Sama, ia juga pinter banget memoles
'jualannya'. Yang dibilang, si calon masih ada hubungan famili dari
nenek mertua saya, dan mecam-macamlah. Pokoknya yang baik-baiklah
yang dibilang. Namanya juga kampanye. Dan ujung-ujungnya, ini dia;
uang. Lumayan, selisih sepuluh ribu lebih besar ketimbang calon yang
satunya.
Tetapi keputusan ada ditangan kami.
Paling tidak ditangan saya.
Karena saya bukan orang asli desa ini, tentu secara emosional hubungannya tidak begitu kental. Lain halnya bagi istri, adik dan mertua saya. Sungguh, walau telah kena money politic, saya tetap harus menentukan pilihan secara rasioanal..
Karena saya bukan orang asli desa ini, tentu secara emosional hubungannya tidak begitu kental. Lain halnya bagi istri, adik dan mertua saya. Sungguh, walau telah kena money politic, saya tetap harus menentukan pilihan secara rasioanal..
Tibalah saatnya pemilihan. Sejak malam,
suhu politik makin mendidih. Ada yang rela tidak tidur semalaman agar
bisa melihat 'pulung' cemlorot jatuh ke atas rumah calon yang
mana. Karena, beberapa orang percaya, cahaya yang jatuh keatas rumah
itu bisa sebagai petunjuk si calon akal jadi. Walau begitu, sebagai
penentu tentu jumlah suara yang diperoleh.
Setelah nama saya dipanggil, dengan
mantap saya menuju bilik suara. Dua calon terlihat duduk gagah
ditengah pendopo balai desa. Saya memandang keduanya dengan tatapan
hormat. Tetapi harus saya tentukan memilih siapa. Yang ngasih 25 ribu
atau yang 35 ribu?
Didalam bilik suara, saya tentukan
nasib keduanya. Jus, juuusss. Beres. Kertas suara saya lipat lagi.
Saya masukkan kotak suara. Lega sudah rasanya. Tinggal menunggu
penghitangan suara selepas jam satu siang nanti.
“Bapak tadi milih siapa?” si Edwin,
anak sulung saya, bertanya.
Karena ia masih kecil, masih belum
cukup umur untuk saya kasih tahu. “Rahasia,” kata saya.
Tetapi, sesampainya dirumah, dan
ditanya istri, saya lebih berani terbuka. Padahal seharusnya pilihan
adalah tetap rahasia.
“Sekalipun ngasihnya cuma 25 ribu, ia
secara famili masih lebih dekat kita, lo,” istri saya berkata.
Tangkapan saya, tadi ia nyoblos yang
itu. Dugaan berikutnya, adik ipar dan emak mertua saya sepertinya
setali tiga uang.
“Kasihan,” gumam saya.
“Jadi sampeyan nyoblos yang ngasih 35
ribu?!” istri saya penasaran.
“Tidak.” jawab saya.
Istri saya lega mendengarnya.
“Biar adil, Aku coblos dua-duanya.”
lanjut saya*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar