SETELAH belanja di sebuah
minimarket di Karanggeneng, begitu motor saya tuntun dari parkiran,
oh ban belakangnya gembos. Tetapi untunglah, tak seberapa jauh dari
situ ada tukang tambal ban. Melihat cara ia membuka ban motor saya,
saya tak ragu ia sudah sangat profesional. Dan satu predikat lagi;
juga kreatif.
Lihat saja, setelah ban dalam saya
dikeluarkan, ia juga mengeluarkan alat yang seumur hidup baru kali
itu saya temui. Kalau biasanya tukang tambal ban selalu memakai
gergaji besi untuk 'mengerik' lapisan disekitar yang bocor sebelum
ditambal, tukang tambal ia beda. Ia menggunakan alat, yang saya yakin
hasil modifikasi sendiri. Bentuknya; sebuah pedal dan rantai serta
gir. Dua gir, depan dan belakang, dihubungkan seuntai rantai. Jadilah
ia sebagai gerinda manual. Karena di gir yang kecil, dimodifikasi
sedemikian rupa dengan fungsi sebagai ganti gergaji besi ala tukang
tambal ban tradisional.
Hasilnya? Hanya dalam beberapa kali
putaran pedal, gerinda manual itu telah mengikis sekitar area ban
dalam motor saya yang tertusuk paku. Proses selanjutnya sama persis.
Beberapa menit kemudian, selesai sudah.
Saya bawa pulang. Tak jauh. Hanya
sekitar enam atau tujuh kilometer menuju desa saya. Dan, ban bocor
lagi. Juga ban belakang lagi. Mau tak mau saya bawa ke tukang tambal
ban lagi. Tukang tambal ini seperti lazimnya, tanpa gerinda manual.
Ia, saya lirik di kotak alatnya, masih menggunakan gergaji besi.
Begitu ban dalam dikeluarkan, oh
rupanya yang bocor tidak jauh dari bocor yang tadi. Tetapi bukan kena
paku atau barang lancip lainnya. Tetapi, “Ini terlalu tipis kena
'ngeriknya',” kata tukang tambal ban.
Rupanya, alat gerinda manual itu si tukang tambal ban di Karanggeneng tadi terlalu rakus mengikis yang seharusnya tidak disentuhnya. Artinya,
dengan gergaji besi masih lebih baik.
Seorang tukang tambal ban di Rungkut
malah berani memberi garansi akan tambalannya. Bila hasil tambalannya
bocor lagi, ia mempersilakan untuk dibawa kesitu lagi. Ditambal lagi.
Gratis.
Bisa jadi itu hanya trik marketing
saja. Agar terlihat defferisiansi-nya dengan yang lain. Karena, mana
mungkin membawa kesitu bila bocornya lagi sudah di Mojokerto,
misalnya.
Di Greges, beberapa ratus meter setelah
terminal Osowilangun dari arah Gresik, suatu malam yang gerimis ban
motor saya bocor. Setelah menuntun beberapa jauh dalam rinai itu,
saya dapati tukang tambal yang rupanya lagi panen. Dua tukang tambal ban itu sibuk sekali, saya lihat. Sebelum saya sudah
ada dua 'pasien'. Satu, sebuah Supra, sudah dalam proses pemasangan
ban, satu lagi menunggu giliran. Tetapi bannya sudah dilepas.
“Bocor, mas?” saya bertanya.
“Iya, ini copnya sobek,” jawab
lelaki yang menunggang Mega Pro ini sambil menunjukkan ban dalam motornya kepada saya.
Pasien pertama selesai. Setelah
membayar sejumlah ongkos, ia melajukan Supranya menembus guyuran
gerimis.
Si Mega Pro segera ditangani. Sementara
'dokter' yang satunya mulai mengoperasi ban saya. Hasil diagnosanya?
“Wah, bannya robek disebalah cop
pentilnya, pak,” ia memberi tahu saya.
Gila.
Saya pikir ini pasti ada yang tidak
beres. Mana mungkin Grand saya berkasus sama dengan si Mega Pro.
Pasti ini malapraktek. Tapi mau bagaimana lagi. Saya dalam kondisi
lemah. Maksudnya, roda saya sudah dilepas. Mana mungkin saya bawa
pergi dan mencari tukang tambal yang lebih bernurani.
Akhirnya, saya harus ganti ban baru
yang memang ia menyediakan. Harganya, sungguh lebih mahal dari
biasanya. Tetapi lagi-lagi saya bisa apa. Dengan rasa mangkel yang
mengguyur sederas gerimis malam itu, saya harus menerima keadaan.
Tetapi dalam hati saya bersumpah. Saya
tak akan membawa ke tempat itu bila ban saya bocor disekitar situ
lagi.*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar