BAGI saya, SPBU
bukan hanya tempat membeli BBM. Ada
beberapa fungsi yang saya dapati disitu. Misalnya, ketika saya pegang uang
besar dan hendak membelikan sebungkus nasi kuning untuk sarapan anak sulung
saya, saya menuju SPBU dulu. Karena, saya menganggap membeli sebungkus nasi kuning
seharga enam ribu rupiah, adalah tidak sopan bila saya menyodori selembar uang
bergambar bung Karno dan bung Hatta. Tetapi, dengan uang yang sama, saya
membeli bensin lima ribu rupiah di SPBU, rasanya tidak ada yang disinggung sama
sekali.
Itu misal yang pertama. Kedua, di SPBU saya merasa tempat
yang aman untuk menggunakan uang yang telah cacat tanpa perlu saya takut
dicacat. Uang yang telah sobek tetapi sudah disatukan lagi dengan selotip
bening, ia tetaplah alat pembayaran yang sah. Hal yang, bisa jadi, sudah
ditolak bila digunakan untuk membeli nasi kuning di warung PKL di pinggir
jalan.
Sepulang kerja,
sesampainya di Jemursari, saya tengok alat penunjuk BBM di sepeedometer.
Tinggal beberapa strip menuju tanda
merah. Waktunya minum bensin si Honda Grand tua saya ini. Saya belok kiri saja,
menuju SPBU. Sore itu antrian motor lumayan panjang. Sambil menunggu giliran,
saya siapkan uang sepuluh ribu rupiah. Terdiri dari dua lembar pecahan limaribu
rupiah. Yang satu sehat wal afiat, satunya lagi sudah pernah ‘bercerai’, tetapi telah dirujukkan lagi memakai selotip.
Saya perhatikan, pelayanan di SPBU ini sangat standard. Maksudnya,
tidak pernah saya dapati petugas SPBU meminta uang dulu baru mengisi tanki.
Selalu mengisi dulu baru meminta uang. Inilah celahnya, saya kira. Bisa saja
orang berniat jahat dengan menggunakan uang palsu, misalnya. Dan ketika uang
itu ditolak petugas, bisa saja (lagi) pengedar uang palsu itu bilang tidak tahu
menahu tentang uangnya. Dan, malah bilang uang itulah satu-satunya penghuni
dompetnya. Bagaimana coba? Masa bensin yang sudah di tanki mau disedot lagi?!
Tiba giliran saya.
“Sepuluh ribu,” saya berkata.
Dan petugas SPBU itu lalu menombol angka pada mesin
pompanya. Baru setelah bensin berhenti mengucur saat angka di pimpa telah
mencapai nominal sepuluh ribu, baru ia menjulurkan tangan meminta uang saya.
Disaat bersamaan, saya lihat tanki motor saya terlalu penuh, dan cairan bensin
sempat meluber. Harusnya tadi diisi tujuh ribu saja sudah cukup, batin saya.
Saya tuntun motor saya untuk memberi giliran motor
berikutnya. Saya tepikan motor didekat pagar. Saya baru mengeluarkan lap hendak
membersihkan tumpahan bensin, ketika petugas SPBU yang tadi melayani saya
mendekat.
“Ada apa, mas?” tanya saya.
“Uangnya tidak laku, pak,” katanya.
“Tidak laku bagaimana? Biasanya uang sobek yang telah
disambung lagi tidak apa-apa,” ujar saya.
“Iya, pak. Tetapi uang bapak ini sambungannya tidak berjodoh.”
“Tidak berjodoh bagaimana?” saya meminta selembar uang lima
ribuan yang tadi saya gunakan untuk membayar. Uang itu, saya sudah lupa dapat
kembalian dari mana.
“Ini uang, asalnya dari dua lembar yang sama-sama sobek, lalu disatukan. Lihat, beda nomor serinya kan, pak?”
Lhadalah, saya
tidak bisa protes lagi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar