SETTING catatan harian saya kali
ini masih se-TKP dengan tulisan sebelumnya. Yaitu sebuah bank swasta
nasional yang letaknya tak terlalu jauh dari tempat kerja saya.
Kesitulah saya menuju setiap kali setor tunai. Biasanya saya lakukan
disaat istirahat siang.
Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi
bukit. Tiga ratus ribu (atau sering kurang dari itu) sebulan atau
kadang tiga bulan sekali, akhirnya lumayan. Untuk menyiasati agar
tidak sedikit-sedikit saya ambil, sejak awal memang saya tidak
meminta kartu ATM. Dulu saya membuka rekening sebenarnya di Rungkut,
dekat tempat tinggal saya. Tetapi karena letak kantor cabang pembantu
itu lebih dekat dengan kantor saya, kesitulah saya lebih sering
bertransaksi.
Setahun lebih sekian bulan kemudian,
buku tabungan saya penuh. Sekalipun tidak penuh uang, tetapi telah
tiba saatnya ganti buku. Setelah tanya teman, ternyata untuk
mengganti buku baru, saya tidak perlu ke kantor dimana saya buka
rekening dulu. Di capem manapun bisa.
“Mau ganti buku,” jawab saya ketika
seorang satpam membukakan saya pintu kaca.
Dengan sopan dia menunjuk ke sebuah
tempat di sudut kiri depan. Lebih depan ketimbang deretan tiga orang
teller. Pada papan dimejanya tertera; Customer Service.
“Selamat siang, pak. Ada yang bisa
saya bantu?” sapa berhias senyum itu menerpa saya.
Setelah saya duduk manis didepan si
customer service yang teramat manis itu, saya utarakan maksud
saya. Ia meminta buku lama saya yang penuh sesak oleh catatan
transaksi potongan pajak dan bunga yang tak seberapa, dibanding
setoran yang tak tentu munculnya.
Setelah menerima buku tabungan, ia
mencocokkan dengan data base di komputer. Beberapa saat
kemudian, ia memandang saya sambil mengernyitkan dahi. Oh, rupanya ia
lupa-lupa ingat wajah saya. Sering orang menyangka saya ini artis
yang sering nongol disinetron. Hehehe...
“Bapak WNA?!”
Saya tak siap mendapat pertanyaan itu.
Dan setahu saya, Lamongan, domisili saya sesuai KTP, belum memisahkan diri dari Indonesia. Juga, kalau data itu sampai menyangkut kota kelahiran saya; Jember-pun masih dalam wadah NKRI.
Dan setahu saya, Lamongan, domisili saya sesuai KTP, belum memisahkan diri dari Indonesia. Juga, kalau data itu sampai menyangkut kota kelahiran saya; Jember-pun masih dalam wadah NKRI.
“Tetapi didata kami, bapak WNA,” si
costumer service menyangkal keterangan saya.
Lhadalah. Makanya saya sering
heran, setiap setor tunai yang tak seberapa itu, selalu saja saya
dimintai biaya administrasi secara tunai. Tidak besar sih. Cuma 3000 rupiah
per transaksi. Yang saya heran, lha saya setor untuk rekening
saya sendiri kok dikenakan biaya. Tetapi karena saya memang baru
kali itu punya rekening di bank, saya anggap memang begitu peraturannya.
“Maaf, pak. Kami tidak bisa
memprosesnya disini. Bapak harus ke kantor dimana bapak buka rekeing
ini dulu,” mbak CS itu berkata.
“Kantor capem di Rungkut sudah tidak
ada, mbak. Saya tidak tahu pindah kemana.”
“Kalau begitu, bapak bisa ke kantor
kami di Kendangsari.” ia menjelaskan.
Jelasnya, ini makin tidak jelas.
Besoknya saya ke Kendangsari. Manisnya
wajah sang costumer service, sudah tak terlalu saya
perhatikan. Feeling saya, urusan mengubah kewarganegaraan
saya ini tidak mudah.
“Maaf, pak, atas kesalahan kami,”
kata CS di Kendangsari.
Ya, tentu saya maafkan, batin saya.
“Begini, pak. Daripada mengubah
status kewarganegaraan bapak yang makan waktu lama, lebih baik bapak
membuka rekening baru. Dan nanti uang yang direkening lama
dipindahbukukan ke rekening baru. Bagaimana, pak?”
Tentu saja saya setuju. Yang penting
status saya aman. Uang saya juga aman.
Jadilah saat itu juga saya membuka
rekening baru. Membuat data baru. Termasuk tentu saja ditanya nama
ibu kandung. Juga membayar dua lembar materai. Baru setelahnya mbak
CS yang ramah itu meminta KTP saya untuk difoto copy.
Ia memerhatikan KTP saya. “Lho,
kok KTP Lamongan, pak?”
Perasaan saya tidak enak lagi.
“Maaf, pak. Dulu memang bisa membuka
rekening di Surabaya pakai KTP luar kota. Tetapi peraturan baru, kami
tidak diperkenankan begitu lagi, pak.”
“Lalu saya harus bagaimana, mbak?”
“Bapak harus membuka rekening baru di
kota bapak.”
Wih, menjadi WNA ternyata kok
urusan menjadi ruwet begini. Tetapi mau bagaimana lagi. Kalau saya
berkeras menaturalisasi status WNA saya dengan menjadi warga negara
Indonesia, tentu ini bukan dalam rangka sok nasioalis. Ini perkara uang!
Sekalipun jumlahnya tak seberapa.
Setelah urusan kewarganegaraan saya
kembali, dengan membuka rekening baru bukan di bank itu, saya ayem.
Lebih ayem lagi ketika uang saya ketika menjadi WNA itu telah
berhasil pindah tempat ke rekening baru. Di bank baru itu, saya
kembali menjadi WNI. *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar