SEKITAR tiga
tahun yang lalu saya ditugaskan untuk mengantar calon penyewa ruko milik
perusahaan tempat saya bekerja. Bersama seorang driver, saya semobil dengan dua ibu muda itu. Tentu saja saya tahu ‘kasta’.
Sepanjang perjalanan yang tak seberapa jauh (dari HR Muhammad sampai jalan
Diponegoro), saya lebih banyak diam.
Selain memang beda ‘kasta’, saya memang terbiasa untuk tidak
ikut bicara bila seseorang yang belum saya kenal sedang asyik bicara dengan
temannya. Kesempatan itu saya gunakan untuk belajar menjadi pendengar yang
baik. Sekaligus ‘membaca’ keadaan, agar ketika saya kemudian harus ikut
nimbrung, saya tahu yang akan saya katakan. Menurut saya ini penting. Karena,
ketika kita tahu ‘isi kepala’ lawan bicara kita, kita bisa nyaman dan nyambung
saat terlibat dalam percakapan.
Contohnya, tak mungkinlah saya bicara tentang IT
ketika harus bicara dengan paman saya yang petani, misalnya. Berbicara
dengan guru, tentu lebih gayeng bila topik yang kita usung adalah tentang dunia
pendidikan. Untuk kasus ini, Barack Obama termasuk jago. Ingat, ketika tahun
lalu beliau hadir untuk kali pertama ke Indonesia, beliau selain mengucap ‘assalamualaikum’,
juga memulai kata sambutannya dengan,” Pulang kampung nih...”
Heboh betul audience
mendengar sepenggal kalimat itu. Artinya, menurut seorang penulis senior, Obama
tahu tempat untuk ‘masuk’ lebih dalam. Ia bisa mengaum dikandang singa, atau
mengembek dikandang kambing!
Ketika saya mulai harus ‘masuk’ satu-dua kata dalam
percakapan dengan dua ibu muda itu, jalanan Surabaya lagi macet-macetnya. Lepas
dari Mayjen Sungkono lebih lega. Masuk Adityawarman sampai Ciliwung lancar
jaya. Tetapi harus berhenti karena traffict
light menyala merah di ujung Ciliwung. Dari titik itu, ruko yang menjadi
TKP yang kami tuju tinggal selangkah lagi.
Panasnya Surabaya sedang tidak saya rasakan karena mobil ini
ber AC. Tetapi salah satu ibu itu malah membuka kaca,” Koran,” katanya sedikit
berteriak.
Seorang ibu muda (yang ini penjual koran) menghampiri.
Diterik siang itu, saya lihat, ia tidak hanya mendekap dagangan koran. Tetapi juga
menggendong bayi.
“Surya,” kata ibu
muda dari dalam mobil.
Ibu muda penjual koran menjulurkan se-eksemplar ke kaca jendela
mobil yang terbuka. “Seribu,” ucapnya.
Ketika selembar limaribuan telah diterima, lalu penjual
koran yang sambil menggendong bayi itu sibuk hendak mencari uang kembalian
disakunya,” Kembaliannya ambil saja untuk ibu...” kata ibu muda calon penyewa
ruko.
Sungguh, ibu muda penjual koran itu setiap pagi masih saya
lihat di ujung jalan Ciliwung. Tetapi bayi yang digendongnya tiga tahun lalu itu, sekarang sudah bisa berlarian. Berlarian? Iya. Dan itu ditrotoar yang bila kepleset sedikit saya bisa-bisa 'disambar' kendaraan yang lalu-lalang di jalanan. Tetapi, iseng angan saya ‘masuk’ lebih dalam.
Begini; berjualan koran tentu lebih terhormat ketimbang mengemis. Dalam hal ini
saya harap sampeyan setuju dengan
saya. Tetapi, ketika sambil berjualan itu ia juga sedang ’menjual’ nelangsa bagaimana?
Bisakah ini dibilang sebagai trik ‘mengemis’ yang lebih manis? Entahlah.
Dalam membeli koran, sering juga saya berlaku begitu. Saya memilih
membeli kepada anak-anak ketimbang kepada penjual yang seusia dengan saya,
misalnya. Sekalipun tidak saya ungkap, tentu sampeyan mengerti mengapa saya berlaku begitu. Ya, rasa iba kadang
muncul begitu saja melihat bocah-bocah seusia anak saya harus berpanas-panas
ria mencari uang dengan berdagang koran. Rasa iba saya itu tentu tak seberapa dibanding
dengan yang dilakukan calon penyewa ruko yang saya ceritakan diatas. Karena saya
hanya membeli dagangannya, dan masih meminta uang kembaliannya. Hehehe..., kebacut ya.
Atas dasar yang sama, Kamis pagi 3 November yang lalu, saya
membeli koran seribuan di depan kantor Telkom Kendangsari. Penjualnya bukan
anak-anak. Tetapi sudah, saya kira, pantas sebagai ibu muda. Sekalipun tidak
sambil menggendong bayi, rasa iba saya muncul melihat kondisi fisiknya. Wanita berkacamata
yang berjualan diatas pembatas jalan itu kakinya cacat.
“Maaf, pak. Kembaliannya belum ada. Besok kalau bapak beli
lagi saja ya....” katanya setelah menerima selembar uang duaribuan dari saya.
Tidak ada alasan untuk tidak mengiyakan alasannya. Tetapi dengan
nakal pikiran saya menjatuhkan dua praduga; bersalah dan tidak bersalah.
Praduga tak bersalahnya, bisa jadi saat itu ia memang sedang tidak ada uang
kembalian. Lalu dengan jujur ia berkata begitu. Dan, praduga bersalahnya; ia
sengaja berlaku begitu kepada siapapun pembelinya demi alasan iba. Bayangkan,
jarang ada kan orang membeli koran dengan uang pas. Selalu ada kembalian.
Praktik ini, saya nilai lebih tidak sopan ketimbang ketika kita dikasih
kembalian permen ketika belanja di swalayan.
Tapi sudahlah. Dengan kondisi fisik begitu, dengan mau
bekerja adalah tak salah bila kita saluti. Ya daripada mengemis.
Ingin membuktikan dua praduga saya terhadapnya, pagi tadi
saya membeli lagi koran kepadanya. Ya, saya ingin membeli tidak dengan uang
pas. Sekaligus saya tidak hendak menagih uang kembalian lebih setengah bulan
yang lalu.
“Surya, mbak,”
kata saya.
Setelah menyerahkan korannya, dan saya bayar, ia merogoh
saku tasnya. Menyodorkan uang kembalian. “Terima kasih, pak,” ucapnya.
“Sama-sama, mbak,” jawab saya sambil tersenyum. Senyum yang
tak terlampu manis saya kira. Karena, pada saat bersamaan, saya sedang malu
ditampar kecurigaan saya yang keliru. Betul, kondisi fisik ibu muda ini memang
tidak sempurna. Ia cacat di kakinya. Tetapi sampeyan
pasti dengan gamblang bisa menerawang; hatinya tidak cacat.
Salam.