Jumat, 12 Februari 2021

Kang Prie GS, Sugeng Tindak


ADA
seorang teman di grup wasap alumni sekolah Aliyah saya, memposting gambar yang hari ini entah sudah berapa kali diposting orang. Tentang tanggal baik. Di hari ini. 12022021. Unik. Antik. Dibaca bolak-balik, dari depan atau belakang sama saja. Hari ini juga saat baik. Tahun baru Imlek. Hari Jumat pula. Kebaikan yang berlipat ganda.

Di hari baik ini tapi saya malah mendapat kabar kurang baik. Tentang kepergian orang baik. Yang humoris, yang 'cubitannya' tak bikin sakit. Paling banter malah 'geli'. Itulah yang saya tangkap dari 'perkenalan' awal dulu. Via acara radio. Sketsa Indonesia. Lalu saya jatuh cinta. Dengan gayanya. Dengan blaka-suta-nya. 

Tentang kemiskinan yang saat kecil dulu amatlah nelangsanya, namun kini bisa ditertawai dengan riang gembira. Tentang kenekatan jatuh cinta kepada siapapun perempuan yang layak dijatuhcintai, tanpa berharap cinta itu tak bertepuk sebelah tangan.

Saya pernah membayangkan diri saya sebagai Ipung. Yang kerempeng. Yang miskin, tapi punya jatidiri. Saya juga sempat lancang mengingat mantan-mantan saya (paling tidak yang saya anggap sebagai mantan, walau mereka itu sama sekali tak pernah menaruh hati pada saya. Marilah kita bersepakat: bahwa mencintai tak harus memiliki!) adalah Paulin atau Surtini.

Genit dan menggoda. Itulah gayanya. Jenaka adalah pelengkapnya. Maklum, kartunis. Melihat segala soal dalam bingkai karikatural. Menjadikan yang terlihat ruwet menjadi enteng. Karena, jangan-jangan yang ruwet itu bukanlah persoalannya, namun malah hanya kita.

Secara pribadi, jujur saya belum mengenalnya. Tapi saya berusaha 'mengenal' pribadi-pribadi baik yang bisa saya cecap ilmunya secara diam-diam. Salah satu pribadi yang masuk kategori tersebut adalah beliau ini.

Saya suka sekali membaca tulisan-tulisannya. Gaya bahasanya. Kolom-kolomnya. Atau status-status medsosnya. Termasuk mendengar suaranya yang khas. Di SmartFM.

Betul, di zaman digital begini, saya masih bisa saban waktu mendengar suara beliau. Membaca (ulang) postingan-postingan beliau. Salah satunya tentang kesedihan beliau setiap mendengar kabar ada ulama yang wafat. Tentang kegundahannya yang mendalam. Sambil menyadari yang ditinggal adalah tinggal orang-orang kurang ilmu seperti dirinya. 

Oh, mboten, Kang Prie. Njenengan orang berilmu. Yang ikut dipanggil duluan oleh Tuhan. Tak berjarak lama dengan sekian ulama di negeri ini yang telah juga kapundhut oleh Gusti Allah.

Kini saya, yang kurang ilmu ini, makin bersedih oleh kepergian njenengan

Sugeng tindak, Kang Prie. *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar