“OH, ini harus
diangkat”, kata dokter bedah itu setelah membaca hasil foto USG
yang diambil kemarin dari ruang radiologi, “harus dioperasi.
Berani?”
Beberapa saat istri saya
diam, sediam saya yang duduk di sampingnya. Sikap antara takut dan
berani itu pernah saya alami, juga di depan dokter bedah, beberapa
tahun yang lalu. Tetapi, kalau kalah sama takut, si penyakit akan
makin akut dengan aneka derita susulan yang menyertainya.
Baca juga: Mengandung Humor, Menanggung Tumor
Baca juga: Mengandung Humor, Menanggung Tumor
“Iya, Dok, dioperasi
saja”, lirih istri saya menjawab. Saya pegang tangannya sebagai
bukan sikap sok romantis. Tetapi, bukankah memang harus ada yang
menguatkan di saat seperti itu.
Hari yang ditentukan pun
akhirnya datang juga. Tepat sekeluar saya dari musholla di rumah
sakit itu untuk menunaikan shalat Asyar, istri saya menelepon agar
saya segera kembali ke kamar rawat inap. Di situ telah ada perawat
yang akan membawanya ke ruang operasi.
Saya menyertai istri saya
yang didorong menuju ruang dingin berlampu terang itu. Saya lirik
mulut istri saya tiada henti entah melafalkan doa apa. “Nanti
sebelum diorepasi, berdoalah yang pendek saja”, pesan saya.
Alasannya, percuma bermaksud berdoa dengan panjang tetapi harus
terputus oleh reaksi obat bius.
Sebelum operasi, istri
saya berganti baju hijau pucat. Entah pengaruh warna pakaian yang
dikenakannya atau rasa takut yang menggelayut, kulit istri saya
kelihatan lebih bersih, hanya beda sedikit dibanding putihnya kulit
artis Korea.
Alhamdulillah operasi
berjalan baik, dan kini (saat saya membuat tulisan ini) istri saya
sudah di rumah dan menjalani masa pemulihan.
Dalam dunia kedokteran
mungkin operasi yang dilakoni istri saya adalah perkara kecil.
Tetapi, kata 'operasi' sering membuat rasa takut lebih dulu membesar.
Dalam banyak hal lainnya, ketakutan-ketakutan sebelum memulai
sesuatu, kata para motivator sih, adalah juga pembunuh suatu
impian dan cita-cita. *****
Tante dawiyah sakit apa om?
BalasHapus