Minggu, 28 Juni 2020

Lathi Bahasa Jawa Kuno?

SEHARIAN ini beberapa kali saya menyimak lagu Lathi. Sebelumnya saya hanya mendengar secara tidak sengaja. Saat anak saya mainan TikTok. Awalnya, jujur, saya tidak tahu itu lagu siapa. Lebih jujur lagi, saya menyangka itu lagu dari penyanyi manca negara. Ternyata oh ternyata, saya yang kudet. Kalah sama bocah generasi TikTok.

Mumpung sempat, saya cari tahu siapa di balik Lathi. Selain Sara Fajira, saya temukan Eka Gustiwana. Nama yang saya konotasikan sebagai sosok  muda yang kreatif. Yang pernah menggubah (atau mengubah) dialog saat debat capres menjadi lagu. Atau merekam segala bunyi aktifitas di bandara (langkah kaki pramugari, suara mesin pesawat dlsb) menjadi karya musik yang indah di telinga. Beberapa kali pula saya lihat di Youtube penampilan Eka meng(g)ubah jingle banyak iklan menjadi satu kesatuan lagu yang enak didengar.

Di Weird Genius itu, selain Eka Gustinawa, ada Reza Arap (pakai P, bukan B) dan Gerald. Siapa mereka, sepertinya Anda lebih tahu daripada saya. Pun demikian tentang Sara Fajira.

Dalam sebuah obrolan dengan Pak Ganjar Pranowo, Sara mengungkap bahwa ialah yang memasukkan syair berbahasa Jawa yang salah satu katanya dijadikan judul lagu; lathi.

"Saya mengambil dari istilah peribahasa Jawa kuno", begitu jawab Sara saat ditanya Pak Ganjar seperti saya lihat di kanal Youtube Pak Gubernur Jawa Tengah itu, tentang inspirasi dibalik Lathi.

Pada titik ini saya kontan menjadi orang kuno. Dalam artian, apakah sebuah peribahasa menjadi bisa dikunokan? Misal, wajahnya pucat laksana bulan kesiangan adakah juga bisa dibilang kuno? Baiklah, mari diseimbangkan saja. Juga yang paribasan bahasa Jawa saja. Yang bagi orang kuno seusia saya atau yang lebih sepuh, sebenarnya biasa-biasa saja. Bukan kuno. Bukan antik. Yang sepaket dengan ajining dhiri ana ing lathi itu. Yang biasanya diucap sebelumnya. Yakni; ajining raga saka busana.

Ataukah Sara (yang orang Jawa) yang kurang mengenal bahasa Jawa. Kurang akrab dengan grammar bahasa daerahnya sendiri.  Simpulan serampangan ini saya ambil saat dalam obrolan dengan Pak Ganjar, beberapa kali Sara bilang ora. Untuk unggah-ungguh, tata krama, kedengarannya janggal. Kurang ngajeni orang yang lebih sepuh. Paling tidak, seharusnya Sara bilang mboten, dan bukan malah ngoko; ora.

Maaf, sebagai orang yang nyaris menjadi barang kuno, mungkin saya mulai cerewet. Tetapi, terlepas dari itu, saya tetap salut pada Lathi yang digarap Eka Gustinawa dan kawan-kawan ini. Kini Lathi telah viral. Sudah mendunia. Sudah di-cover banyak orang. Di dalam maupun di luar negeri. (Untuk di dalam negeri, dengan kekayaan 'kearifan lokal' dan berdasar falsafah 'semua akan (di)koplo(kan) pada waktunya', si Lathi ini pun enak dijadikan sarana goyang seraya ber-hok'a-hok'e...)

Eka dkk. tentu akan terus berkarya. Banyak musik etnik kita yang layak eksplor. Banyak lagu daerah dengan bahasa daerah yang syairnya indah yang terbuka untuk diusung. Diviralkan ke seluruh penjuru dunia. Kalau bukan oleh anak-anak muda macam mereka ini, siapa lagi yang akan melestarikan budaya sendiri? Dan, kita tidak akan kehabisan talenta-talenta muda luar bisa macam mereka. Niscaya.****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar