Senin, 11 Mei 2020

Waswas Tes Swab (2)

RESAH dan gelisah menunggu di rumah...

Kalimat pembuka barusan, saya tulis sambil melagukan tembang lamanya Obbie Messakh, Kisah Kasih di Sekokah. Dan keresahan serta kegelisaan oleh pageblug ini sungguh sangat berbeda dibanding resah-gelisahnya hendak bertemu kekasih. Berbeda seratus delapan puluh derajat. Bertemu dan apalagi ketularan Covid-19, oh jangan sampai, jangan sampai.

Tetapi, pelbagai mitos yang sebelumnya sempat bertebaran di media sosial (dan celakanya, sempat juga dipercaya), bahwa si virus tak akan masuk ke negara kita --karena ini atau itu--, sungguh tak terbukti. Kini ia ada di sini. Di sekitar kita. Sesuatu yang kita harapkan jangan sampai, akhirnya sampai juga. Baiklah. Sekarang kita kubur saja mitos-mitos yang dulu sempat kita imani itu. Kita kubur dalam-dalam dengan protokol ketat dan diiringi doa agar kita tidak terkutuk menjadi keledai.

Soal lainnya adalah stigma. Bahwa orang batuk atau bersin saja, sekarang ini langsung dilirik orang. Terlebih saya ini yang kalau sudah kadung sakit batuk, susah sekali sembuhnya. Itu contoh ringan. Contoh lainnya adalah, ketika ada tetangga meninggal karena sakit panas dan sempat dirawat di RS, tetangga kanan-kiri langsung parno. Itu kena Korona, begitu kabar diedarkan.

Padahal untuk tahu seseorang kena Covid-19 atau tidak, tidak segampang itu. Harus ada tes. Dan bukan sekadar rapid test. Harus yang lebih akurat. Harus swab.

Oleh perusahaan, awalnya saya diarahkan melakukan tes swab di sebuah Rumah Sakit di dekat RS dr. Soetomo sana. Secara jarak relatif jauh dari rumah saya. Makanya, saya usul, agar saya bisa tes di RS yang lebih dekat dengan tempat tinggal saya.


Syukurlah disetujui. Syukurlah semua administrasi diurus oleh perusahaan. Sampai kemudian, saya mendapat wasap dari RS tempat saya akan di-swab itu tentang jadwal saya: Jumat, 8 Mei, jam 08.01-08.10 WIB. Ya, saya diberi waktu sembilan menit saja.

Ohya, sesuai info yang saya terima, tes swab di RS itu memang memakai sistem kendara lewat, drive thru. Di ruang terbuka. Kita tak perlu masuk ruang. Saya pikir ini lebih bagus. Lebih safe. Untuk menghindari kontak antar orang seminimal mungkin. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Terpapar dari orang lain yang positif, misalnya.

Sesuai jadwal, Jumat pagi saya menuju RS itu. Tak sampai dua puluh menit perjalanan naik motor dari rumah, saya sudah sampai.

Tempat tes drive thru.
Tempat tes masih sepi. Ataukah memang dijadwal begitu agar antar pasien tidak saling ketemu, saya tidak tahu. YanÄ£ saya tahu, dalam sehari, tes swab drive thru di RS ini hanya dibatasi tak sampai limapuluh orang.

"Oh, nanti mulai buka jam setengah delapan", jawab seorang petugas medis yang sedang lewat di depan saya.

Saya melangkah. Bertanya kepada pak Satpam. Pun mendapat jawaban seperti tadi. Selebihnya, saya disilakan duduk di ruang tunggu, di bawah tenda. Yang kursinya sudah ditata berjarak sedemikian rupa.

Saya lihat sudah ada beberapa orang datang. Ternyata, saya bukan yang pertama. Sudah ada yang datang duluan. Antre.

Yang antre duduk di kursi seperti saya ini, adalah yang datang pakai roda dua. Karena kalau yang bermobil, tidak perlu keluar dari mobil. Cukup buka jendela, dan petugas yang akan menghampiri untuk mengambil sampelnya. Begitu keterangan yang saya dapat dari wasap RS ini yang saya terima kemarin tentang alur tes swab disini.

Beberapa petugas mengenakan APD lengkap mulai datang. Mempersiapkan diri. Mempersiapakan segala sesuatunya.
Petugas ber APD lengkap.

Di kursi sebelah saya, berjarak sekitar satu setengah meter, seorang Bapak saya dengar beberapa kali batuk.

"Bapak akan tes?", tanya itu saya lontarkan sebagai pembuka percakapan saja. Karena, kalau sedang antre disini tentu bukan sedang akan beli tahu bulat digoreng di mobil yang limaratusan itu.

Benar saja. Satu pertanyaan pendek saya itu sanggup membuat si Bapak bercerita lumayan panjang. Bahwa, seperti saya, yang meminta bapak itu tes adalah perusahaan tempatnya bekerja. "Padahal saya sehat. Dua hari lalu memang sempat agak flu dan pusing serta sedikit meriang. Tapi yang jelas hari ini saya merasa sehat-sehat saja".

Begitulah. Saya juga merasa sehat. Tapi, bukankah dalam kasus Covid-19 ini ada istilah OTG, Orang Tanpa Gejala. Padahal si bapak itu tadi mengaku flu dan meriang. Nah.

Swab adalah jawabnya. Yang hasilnya dipercaya lebih akurat dibanding rapid test, apalagi dibanding berdasar 'saya merasa sehat-sehat saja' itu tadi.

Ternyata, setelah proses swab akan dimulai, si Bapak itu mendapat panggilan pertama. Saya giliran nomor dua. Menjadikan saya tahu bagaimana prosesnya sebelum mengalami sendiri sebentar lagi.

Petugas berpakaian APD putih-putih itu memasukkan semacam cotton bud dengan panjang sekitar sepuluh centimeter. Pertama ke dalam hidung. Satunya lagi ke tenggorokan. Semuanya di bagian dalam. Rasanya?

Tadinya saya hanya bisa membayangkan. Waswas juga. Iya kalau kili-kili di kuping, geli-geli enak. Lha ini di hidung, di tenggorokan.

Pas giliran saya.

"Tanggal lahir Bapak?" perempuan ber-APD
lengkap di depan saya bertanya.

Saya kira itu semacam key word. Bahwa benar sayalah orangnya sesuai data yang dipegangnya. Bukan salah orang. Ini soal sensitif. Di masa sensitif, pandemi.

Begitu saya jawab, saya diminta membubuhkan tanda tangan pada formulir. Dua kali. Saya tidak membaca isinya. Langsung tanda tangan.

Saya diminta melepas masker. Lalu mbak ber-APD itu memasukkan semacam cutton bud tadi ke dalam hidung saya. Sampai dalam. Sampai menjangkau tempat yang diinginkan. Kemudian, diputar (tapi tidak pakai dijilat dan dicelupin😋) beberapa kali. Rasanya agak geli. Tapi tidak segeli kili-kili. Rasanya ingin bersin. Saya tahan. Sampai mata berair. Selesai.

Lanjut sesi berikutnya. Tujuan: tenggorokan. Tepatnya, bagian belakang mulut. Istilahnya: orofaring. Alat semacam cutton bud itu juga dimasukkan agak dalam. Juga diputar. Rasanya sama sekali tidak ada geli-gelinya. Begitu selesai, malah serasa mau muntah. Tapi saya tahan.

Seperti halnya sample yang diambil dari hidung tadi, yang dari tenggorokan ini juga dimasukkan ke dalam wadah khusus. Untuk kemudian akan dianalisa di laboratorium.

Cepat sekali. Terlihat pengalaman sekali petugasnya. Tidak sampai lima menit. Dibanding rasa deg-degan sebelum di-swab tadi. Membayangkan bagaimana prosesnya, bagaimana rasanya. Pada saat menunggu tadi. Proses swab rasanya singkat sekali. Menunggu hasilnya yang terasa lama. Tiga atau empat hari.

Selama menunggu itu saya terus waswas. Jangan-jangan hasilnya... Lanjutan kekhawatiran itu beranak-pinak macam-macam. Membayangkan mesti diisolasi. Membayangkan bagaimana kalau tiba-tiba ada ambulans datang menjemput agar saya dirawat di RS.

Akhirnya kabar kepastian yang saya tunggu (empat hari tapi terasa lamaaa sekali) itu datang juga. Pagi tadi. Lewat email. Menerangkan bahwa hasil tes polymerase chain reaction (PCR) terhadap saya yang dilakukan tempo hari hasilnya: n-e-g-a-t-i-f.

Tentu, tiada kata yang layak saya tuliskan untuk hasil tes swab itu selain: Alhamdulillah... ****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar