Minggu, 06 Januari 2019

Kacamata

BUKAN, ini bukan tentang hoax lagi. Masa sudah dua kali di awal tahun ini menulis tentang hoax, mau nulis lagi tentang itu. Sudah cukup. Sekali pun di luar sana masih dan selalu akan ada hoax-hoax baru. Biar saja. Hoax menggonggong, kafilah berlalu.

Mari bercerita tentang hal lain saja. Hal-hal tak penting lainnya. Karena bukankah semua yang saya tulis di sini memang adalah hal remeh temeh belaka. Hal tak penting yang hendak saya tulis kali ini adalah tentang kacamata.

Kacamata adalah sesuatu yang sebenarnya tak penting namun meningkat derajatnya menjadi penting bagi yang membutuhkan. Saya pernah membaca analisa seseorang tentang suatu topik dari kacamata beliau sebagai pakar. Yang kadang, nalar saya tidak nutut untuk memahaminya. Yang celakanya, lalu saya tidak setuju dengan pendapat pakar itu. Kenapa? Kacamata saya dan kacamata beliau dalam menyikapi sebuah topik berbeda. Kenapa berbeda? Bisa jadi karena ada gap (bisa pendidikan, dan lainnya) antara saya dan pakar itu.

Kacamata saya yang kemarin patah (dan alhamdulillah telah tersambung lagi oleh kawat klip kertas ini), saya beli di jalan Melati Tabanan, Bali. Di sebuah toko kacamata kecil, Kalista Optik namanya. Tak ada yang istimewa dari bangunannya. Setak-istimewa banten (sesajen kecil dengan dupa yang mengepulkan aroma wangi) yang diletakkan di depan toko, pagi itu. Juga pagi-pagi yang lain. Lumrah saja. Di Bali semua begitu. Yang tak lumrah adalah, dari toko yang secara penampakan terlihat Bali banget itu, terdengar alunan lagu kasidah, atau rekaman tartil Al Quran setiap saya lewat. Juga dua perempuan muda berjilbab sebagai penjaganya.

Maka, ketika kacamata saya rusak dan tak bisa diperbaiki, menujulah saya ke Kalista untuk membeli yang baru. Tentu, ada banyak toko kacamata di Tabanan situ. Tetapi, menurut kacamata saya, ada sesuatu yang 'lain' (menurut saya lho ya) dari Kalista. Ada aura yang menyatu dengan saya. Ada warna yang langsung bisa menyentuh hati saya. Iya, musik kasidah dan perempuan berhijab itu.

Mungkin, seharusnya saya tidak terlalu begitu. Bukankah dalam jual-beli tak terlarang untuk melakukan dengan orang yang tak seiman. Betul, dan saya tak membantah itu. Namun, bukankah saya juga tak salah berlaku begitu, dan di kesempatan lain membeli barang lain di tempat yang lain, di tempat orang tak seiman. Biasa saja.

Toh, musik kasidan dan alunan ayat suci itu diputar oleh penjaga toko yang kera Ngalam, arek Malang. Yang tak malang karena tak dilarang oleh si empunya toko yang orang Hindu (Bali) untuk memutar sesuatu yang islami di tokonya. Ini hal sepele. Hanya suara. Tapi, di sini, di negeri yang dulu senantiasa digaungkan sebagai negeri yang menjunjung tinggi sopan-santun dan toleransi ini, kini tidak sedikit hal dan kasus besar (atau dibesar-besarkan?) yang dipicu hal sepele. Tidak saja oleh yang lain golongan, yang segolongan pun bisa beda dalam menilai dan menyikapi sesuatu. Kenapa? Ya karena beda kacamata (dan kepentingan?) dalam melihatnya. *****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar