TAK salah
kiranya saya memilih tempat tinggal sementara selama menjalankan
tugas kerja di Tabanan, Bali, ini. Walau awalnya, tentu sangat
disayangkan oleh atasan saya. “Yakin mau tinggal di tempat kayak
itu?”, tanya Bu HRD yang baik hati saat saya memutuskan memilih
tempat kost yang pertama ditunjukkan saja, setelah mencari tempat lain
yang lebih layak untuk saya. Salah satunya di sebuah komplek kost
yang secara tampilan luarnya saja sudah menggambarkan kelasnya.
Tetapi, begitu Pak Komang (driver langganan perusahaan) membuka
gerbang untuk bertanya, kami langsung disambut gonggong anjing.
Hassuh tenan!
“Itu fasilitasnya cuma segitu lho”, lagi beliau mengingatkan agar saya
menimbang ulang.
“Tapi itu dekat
masjid, Bu”, saya beralasan. Sok alim ya? Hehe...
Begitulah. Jadilah
saya tinggal di sini sudah (atau baru?) dua minggu ini, telinga yang
biasa mendengar TOA masjid-musholla di tempat tinggal saya di
Surabaya, tak terlalu rindu karena tak kehilangan suara serupa selama di Tabanan ini. Saya
bisa jamaah sholat di masjid Agung Tabanan, dan malamnya cari makan
di Pasar Senggol jalan Gajah Mada yang menu Jawanya terbilang
komplit adanya. Pendek kata, telinga dan lidah saya tak ada masalah
selama disini, kecuali hati yang selalu rindu anak-istri karena tak
terbiasa pisah dalam rentang jarak dan waktu selama ini. Ini yang kadang bikin syedih (pakai syin).
Seperempat jam
sebelum adzan maghrib saya sudah disitu. Melihat beberapa warga
datang membawa tumpeng dan uba rampe-nya. Yang
tengahnya runcing berselimut daun pisang diberi bendera kecil. Makin
menjelang maghrib, makin banyak yang datang, dan tak sebanyak jamaah
sholat maghrib di hari biasa. Tumpeng-tumpeng yang datang ditata di
serambi masjid adalah hal yang photoable. Dan celakanya saya sedang
tidak membawa HP untuk memotretnya!
Masjid nyaris penuh
oleh jamaah sholat maghrib. Laki-laki dan perempuan. Khusyu’
beristighotsah. Syahdu dalam doa. Tapi sesekali terdengar salak anjing
di luar sana. Itu hal yang menyadarkan saya memang sedang ada di Bali,
bukan di Rungkut, Surabaya.
Setelah istighotsah
dan sebentar ceramah agama bertema hijriyah, dilanjut sholat Isya’,
kami semua diminta naik ke lantai dua. Deretan tumpeng yang tadi
ditata di serambi, rupanya telah dipindah ke lantai dua, yang
biasanya dipakai tempat anak-anak kecil mengaji.
Saya lihat beberapa
tumpeng disebar untuk diserbu. Satu tumpeng dirubung lima-enam orang.
Makan bersama, dan tentu saja perut kami tak mungkin muat
menghabiskannya. Dan lagi-lagi saya menyesal tak bisa memotretnya.
Hari ini, Kamis 21
September, hari libur. Dan, “Dekat kok kalau mau ke Tanah Lot, gak
sampai tigapuluh kilo”, kata Pak Made, seorang teman di kantor tempat sementara saya bermarkas, menyarankan saya agar mengisi
waktu libur hari ini dengan pelesir. “Masa sekian lama di Bali gak
tahu mana-mana “, lanjutnya.
Saya yang memang
bukan type orang macam itu cuma nyengir saja. Lalu ingat seorang
teman kerja yang hobby sekali travelling. (Mbak Tantri, kita tuker
tugas ya? :) )
Lagi libur,
di Pulau Dewata pula, cuma gluntang-gluntung di kamar, dan tidak bersyahwat mencumbui sekujur lekuk tubuh pulau molek ini, memangnya masalah buat sampeyan?
Pintu kamar diketuk
orang saat saya mandi. Seorang kakek asal Sumenep, tetangga kost,
yang berdua saja disini bersama istrinya yang asli Jember, mengantar
sepiring bubur Suro untuk saya. “Iya, agar kita semua selamat di
sepanjang tahun nanti...”, kata istri kakek itu ketika saya
berterima kasih seterimakasih-terimakasihnya kepada beliau atas
pemberiannya.
Duhai, sepiring
bubur hangat bertabur kacang goreng, kuah santan, telur dadar dan
suwiran daging ikan itu, membuat saya makin makin mantap tak
kemana-mana hari ini. Selamat tahun baru, kawan.
setelah istighosah, lnjt bersua via chat -eL-
BalasHapusHaha...
HapusSelamat tahun baru, El.