TENGAH
malam, di saat si bungsu pulas tidur, saya sering terjaga. Melihat
tangannya, melihat sikunya. Ya, walaupun setiap saya tanya dia selalu
bilang sudah tidak merasakan sakit di sikunya, dengan kondisi yang
hanya bisa ditekuk sembilan puluh derajat, sungguh saya merasa
nelangsa. Saya merasa berdosa. Dititipi merawat anak yang lahir
sempurna, kok bisa jatuh dan menjadi bengkok tangannya. Saya
membayangkan ia nanti oleh kawan-kawannya dijuluki si cekot.
Si Bungsu membaca alur pasien. |
Celakanya, sebagai
pasien baru yang belum punya kartu Rekam Medik, saya harus
mendaftarkan secara manual. Belum bisa online. Dan, Senin itu
kuota pasien Poli Orthopedi sudah penuh. Jadi, “Silakan besok pagi
Bapak datang lebih pagi agar kebagian kuota,” kata petugas
pendaftaran.
Baiklah, di RS atau
di manapun, kadang stok kesabaran memang harus tersedia relatif cukup.
Selasa saya datang
lagi, lebih pagi lagi. Sempat sholat Subuh jamaah di masjid RS. Dan,
“Sebentar, saya telpon dokter Lukas dulu ya,” petugas di meja
pendaftaran meminta ijin kepada saya.
Karena, dari
pembicaraan telepon yang saya dengar, pasien yang sudah mendaftar
untuk ke Poli Orthopedi untuk jadwal sore hari itu telah ada 30 pasien.
Alhamdulillah, dokter Lukas masih mau nambah menjadi 40 pasien.
Jadilah anak saya mendapat nomor antri 31. Lega saya.
Walau agak takut
juga. Karena pernah saya membaca, dokter akan marah-marah menerima pasien
yang telah pernah ditangani oleh tukang pijat. Konon, sebagaimana
saya baca, dokter orthopedi lebih suka menerima pasien yang belum
tersentuh tangan tukang pijat.
Sorenya, dengan
persiapan mental yang lumayan, saya menunggu di depan ruang poli
orthopedi. Sambil antre, saya berdoa semoga dokternya baik dan gak
hobbi marah-marah. :) Tertera di samping pintu poli, nama dokter Lukas yang akan menangangi anak saya. Sesuai penelusuran saya lewat google, dokter Lukas adalah dokter ahli orthopedi
lulusan PTN ternama di Surabaya, sempat pula memperdalam ilmunya di
Korsel dan Jepang. Secara keahlian, tentu tak ada alasan bagi saya
untuk meragukannya. Namun, saya lihat anak saya berwajah sedih,
ketakutan. “Aku takut dioperasi,” bisiknya, memelas.
Tentu saya
menenangkannya. Agar ia tidak takut.
Panggilan untuk
masuk ruang dokter datang juga. Membuka pintu, saya uluk salam. Masuk ke dalam, ternyata kami masih harus menunggu lagi. Masih ada pasien yang sedang
diperiksa dokter Lukas. Beliau menulis dengan tangan kiri itu. Beliau
ganteng, berkacamata, dan suka bercanda.
Selesai memeriksa
pasien tadi, dokter Lukas mengambil berkas anak saya dan mengeja
namanya, “Wah, namanya berat ini,” canda dokter.
“Iya dok, saking
beratnya sampai jatuh dari sepeda,” timpal saya.
“Lho, kenapa
tangannya ini?” dokter Lukas berdiri lalu memegang tangan anak
saya.
Kemudian
berceritalah saya tentang kronologinya. Dokter Lukas mendengarkan
dengan seksama. “Oh, gak apa-apa kok. Ini bisa diperbaiki. Kasihan,
kalau sampai tangannya cekot,” beliau duduk lagi. Menulis sesuatu di
kertas.
“Ini pengantar
untuk ke ruang radiologi. Harus rongent dulu.”
Tentu saya tidak
bercerita kalau di tukang pijat sudah pernah difoto rongent.
Malah, karena tidak ditanya, saya juga tidak cerita kalau sudah
pernah ditangani tukang sangkal putung.
Berbekal pengantar
dari dokter Lukas, kami membawa si bungsu ke ruang radiologi untuk
foto rongent. Ternyata harus foto dua kali. Posisi siku tangan
lurus, dan satunya lagi ditekuk sembilan puluh derajat. Ternyata
(lagi) proses pemotretannya tidak sekaligus di saat itu. Harus dua
hari kemudian. Ya, memang harus sabar melewati sesuatu yang mungkin
memang sudah prosedur.
Hari untuk ketemu
dokter Lukas datang lagi. Berbekal dua lembar foto rongent
kami menghadap lagi. Di luar, sambil menunggu antrean, saya sempat
membuka keterangan yang disertakan dalam map besar berisi hasil foto
rongent. Intinya, dalam keterangan, semua normal.
Nah, ternyata yang
praktik di ruang poli orthopedi saat itu bukan dokter Lukas. Mungkin
dokter Lukas sedang berhalangan, sehingga digantikan oleh dokter
Brian Vicky. Saya nilai dokter Brian lebih muda, dan lebih ganteng.
(Maaf, lho dokter Lukas... hehe).
Saya
tidak menyangka, dokter Brian adalah penebak yang ulung, “Ini pernah
dibawa ke sangkal putung ya?”, katanya santai sambil tersenyum.
Senyum yang
membuyarkan ketakutan saya bahwa kalau sudah pernah ditangani sangkal
putung, dokter orthopedi akan marah-marah walau tetap saja akan
ditangani. Buktinya dokter Brian tidak marah. Dokter Lukas gak pernah
bertanya malah.
Setelah memeriksa
hasil rongent dan mendapati kondisi tulang anak saya normal
belaka (walau belum bisa ditekuk lebih dari sembilan puluh derajat),
dokter Brian memutuskan tidak perlu operasi. Kami diberi surat
pengantar ke Poli Rehabitasi Medik. Nah, karena pasien BPJS tidak
diperkenankan mengunjungi dua poli dalam satu hari, maka kami harus
menunggu besoknya untuk ke poli dimaksud. Ya, sekali lagi, sebagai
pasien dan/atau keluarganya, memang dituntut untuk mempunyai kesabaran
berlebih saat begini ini.
Demi agar si bungsu
segera mendapat penanganan rehab medik, hari Senin itu saya ijin
tidak masuk kerja. Kalau biasanya ke dokter ortopedi saya ambil
jadwal dokter yang praktik malam, ke rehab medik saya ambil pagi.
Dalam jadwal, tertera pagi itu yang buka praktik dokter Fatchur,
SpKFR. (SpKFR = Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi).
Instalasi Rehabilitasi Medik RSI. |
“Belum memegang
tangan anak Bapak saja saya sudah tahu apa masalahnya,” kata dokter
Fatchur. “Karena saya sudah baca di sini,” kata beliau sambil
tersenyum dan menunjuk layar monitor komputer di mejanya. Oh,
ternyata dokter Fatchur suka guyon juga.
Saya tahu, sebagai rumah sakit yang menerapkan sisten cyber hospital, tentulah rekam medik pasien telah tertata sekaligus terdata dengan baik. Sehingga antar poli dan antar bagian bisa memanfaatkan teknologi yang telah diterapkan untuk operasional rumah sakit secara keseluruhan.
Saya tahu, sebagai rumah sakit yang menerapkan sisten cyber hospital, tentulah rekam medik pasien telah tertata sekaligus terdata dengan baik. Sehingga antar poli dan antar bagian bisa memanfaatkan teknologi yang telah diterapkan untuk operasional rumah sakit secara keseluruhan.
Untuk daftar,
jadwal praktik dokter, melihat nomor urut antrean obat, di RSI
Jemursari Surabaya ini memang telah bisa dilakukan secara online
menggunakan smartphone. Dan setelah pendaftaran manual pertama
dulu itu, besoknya saya sudah dapat menggunakan kartu Rekam Medik
untuk anak saya. Sehingga sudah bisa melakukan pendaftaran dan
lain-lain secara online dari rumah.
Dokter Fatchur
memberi lembar pengantar, dan menulis disitu agar si bungsu saya ini
diterapi sebanyak delapan kali. “Kalau sekolahnya full day,
bisa ambil therapy yang malam saja, Pak. Yang penting rutin.
Insya Allah anak bapak segera pulih,” kata dokter Fatchur.
Saya ambil jadwal
Senin dan Kamis. Seminggu dua kali. Karena (lagi-lagi) peraturan dari
BPJS memang begitu. Kalau mau lebih sering dari jadwal yang
diperbolehkan oleh BPJS, ya... harus bayar sendiri.
Para terapis di
Poli Rehab Medik itu masih muda-muda. Juga, sabar-sabar. Walau pada
saat terapi pertama, belum diapa-apakan saja anak saya sudah
menangis. Mungkin ia trauna saat dipaksa menekuk oleh Umik tukang sangkal
putung dulu. Padahal, di poli rehab medik ini semua dilakukan secara
prosedural. Otot/tulang siku tangan kanan anak saya dipanaskan
memakai alat dalam suhu tertentu selama sekian belas menit dulu, baru
di-streching. Tidak ujug-ujug ditekuk.
“Streching
itu harus pelan-pelan, pak,” kata mbak terapis berhijab yang
menangani anak saya. “Tidak boleh dipaksakan. Harus sabar, harus
telaten. Termasuk di rumah, bapak juga harus melatih agar tangannya
aktif bergerak.” pesannya.
Dipanasi dulu sebelum streching. |
Setelah tiga kali
diterapi, alhamdulillah, siku tangan anak saya mulai membaik. Terapi
berikutnya, oleh Mas Fajrin yang memang suka bercanda (itu salah satu hal
yang disukai anak saya, sehingga ia lebih sreg bila ditangani
Mas Fajrin), anak saya diminta untuk push-up. Tentu di atas
dipan berkasur. Dengan senang hati, sambil tertawa, anak saya
melakukannya. Itu mungkin untuk memperkuat otot tangannya, sekaligus
melenturkannya kembali.
Pada
kunjungan-kunjuan berikutnya, anak saya sudah tidak sedih lagi saat
harus terapi. Ya itu tadi, saya nilai –tidak hanya kepada anak saya
saja-- kepada setiap pasien, semua terapis bersikap ramah dan
telaten. Suasana yang nyaman, pelayanan yang menyenangkan, saya kira,
punya andil pula dalam proses pemulihan macam ini.
Dan pada kunjungan
ke delapan, setelah saya menanda-tangini berkas yang disodorkan,
“Silakan anak bapak nanti dibawa lagi ke dokter Orthopedi. Apakah
sudah cukup, ataukah perlu diteruskan terapi disini”, petugas di
loket Rehabilitasi Medik menerangkan.
Hari di saat saya
bawa si bungsu ke Poli Orthopedi, dokternya pas dokter Lukas.
Setelah membaca hasil perkembangan setelah delapan kali melakukan
terapi di anak buahnya dokter Fatchur, dan memeriksa langsung kondisi
siku tangan anak saya (termasuk meminta mempaktikkan
gerakan-gerakan), “Wah, sudah sembuh ini. Selamat ya, Faiz. Sudah
sembuh dan menurut saya tidak perlu lagi ke Rehab Medik.”
Plong sudah hati
saya. Lebih plog lagi, sebagai hadiah, sepulang dari Rumah Sakit
malam itu, si bungsu saya hanya minta mampir ke Indomaret. Beli
Pocari Sweat dan Sari Roti.
Kemudian, berdasar pengalaman tersebut, bila ada yang bertanya; kalau mengalami cedera tulang, pilih dibawa ke sangkal putung atau dokter orthopedi? Tentu saya menjawab: lebih baik tidak cedera! Hehe....*****
Kemudian, berdasar pengalaman tersebut, bila ada yang bertanya; kalau mengalami cedera tulang, pilih dibawa ke sangkal putung atau dokter orthopedi? Tentu saya menjawab: lebih baik tidak cedera! Hehe....*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar