MAS BENDO
berlari kecil menuju warung Mbak Yu. Gerimis pagi yang turun di
November ini sepertinya agak terlambat. Karena biasanya Agustus sudah
mulai hujan., lha ini sudah hampir pertengahan November baru
mulai turun hujan.
Dingin-dingin, di
hujan begini tentu enak nongkrong di warung Mbak Yu. Bisa nunut
baca koran. Bisa makan pisang goreng hangat. Apesnya, Mbak Yu belum
menggoreng pisang. Kang Karib yang sudah nongkrong duluan malah sudah
kebal-kebul merokok sambil baca koran.
“Piye to
Mbak Yu, kok pisangnya belum digoreng?” protes Mas Bendo.
“Rung
sempat, nDo.” jawab Mbak Yu sambil ndeplok sambel pecel.
“Ra usah
protes,” Kang Karib bicara sambil membuka koran halaman berikutnya.
“Wong ngutang aja kok kakean tuntutan. Mbok ya yang
sudah ada saja itu dimakan”.
“Hujan-hujan
begini enaknya makan gorengan yang anget-anget, Kang.”
“Makan krupuk
sambil minum kopi hangat kan juga bisa, nDo”
“Pinginnya pisang
goreng kok malah disuruh makan krupuk ki piye to sampeyan,”
Mas Bendo ambil duduk di dekat Kang Karib. “Lha kalau
sembarang gorengan, sekarang bukan hanya pisang. Perkataan juga bisa
digoreng lho, Kang”.
“Mesti kamu
sedang membela Pak Wo kan, nDo?” Kang Karib yang memang simpatian
Pak Wi menimpali. “Orang itu lihat-lihat dong kalau bicara. Masak
calon pemimpin kok bicaranya begitu.”
“Begitu piye to,
Kang? Orang guyon kok ditanggepi serius.”
“Guyon itu itu
juga harus ada batasnya, nDo. Mosok kok merendahkan orang dengan
menyebut daerahnya itu guyonan. Itu ndak patut, nDo.”
“Ra patut piye
to, Kang?!” sanggah Mas Bendo. “Ra patut mana coba
dengan wong sudah minta maaf kok masih saja dituntut. Ini
namanya gorengannya ra uwis-uwis, nggak bubar-bubar. Bisa
habis energi kita hanya ngurusi hal sekecil upil ini. Lha
kapan majunya kita, Kang.”
“Sama, nDo,”
Mbak Yu yang masih belum selesai menumbuk sambel pecel di lumpang,
menimpali, “kapan majunya warungku ini kalau kamu setiap kesini
selalu ngutang...” *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar