PALANG pintu
perlintasan KA tertutup, kendaraan di perempatan Jagir sore itu
menyemut. Seperti juga pengendara yang lain, saya berhenti. Iseng
merogoh ponsel di saku celana. Oh, ada tiga panggilan dari Ibu Negara
tak terjawab. Dan beberapa WA. Tak saya baca, karena kereta barusan
lewat. Palang pintu kembali dibuka. Seperti yang lain, saya juga
mencari celah untuk melaju lagi. Tapi untuk menepi. Di setelah rel
kereta api. Saya berhenti di sebelum Mangga Dua. Kembali merogoh
saku. Mengambil ponsel. Membaca yang tertera.
Tak biasa istri
saya menelepon atau kirim pesan via WA di jam segitu, karena pasti
tahu saya sedang dalam perjalanan pulang. Dan Surabaya di jam pulang
kerja sering berkondisi tiada jalan yang tak macet. Benar saja, “Adik
jatuh, tangannya bengkak”, itu kalimat yang saya baca dari WA-nya.
Tiada alasan untuk
tidak berusaha segera sampai di rumah. Begitu memarkir kendaraan di
halaman rumah, ada beberapa tetangga yang sedang ada di ruang depan.
Merubung si bungsu. Dan, oh benar. Saya lihat siku tangannya bengkak.
“Jatuh dari sepeda,” kata ibunya.
Beberapa tetangga
berbaik hati menenangkan saya. Dan bilang bahwa cedera si bungsu
harus segera ditangani. Harus dibawa ke tukang sangkal putung.
“Kalau dilihat
bengkaknya, sepertinya tidak parah,” kata seorang tetangga. “Paling
disana cuma dipijat sebentar, langsung sembuh”.
Saya dan istri yang
sedang panik, agak reda mendengar kalimat itu. Lebih-lebih si
tetangga bilang dia pernah mengantar saudaranya yang cedera tulangnya
lebih parah, bahkan sampai tidak bisa berjalan, begitu dipijat Umik
(begitu dia menyebut tukang pijat itu) pulang langsung bisa jalan.
Jadilah sore itu
juga si bungsu kami bawa ke tukang sangkal putung. Di mobil, di
sepanjang perjalanan, si bungsu selalu menangis kesakitan.
![]() |
Tangan kanan si Bungsu diperban dan diberi semacam papan tipis. |
Tidak seperti yang
saya duga, ternyata Umik tidak langsung umik-umik baca mantra
lalu menangani tangan anak saya saat kami tiba. Tetapi meminta tangan
anak saya di-rontgen dulu. Wah, boleh juga tukang pijat ini,
pakai rontgen segala.
Tempat rontgen
tidak disitu, tetapi kami mesti ke sebuah klinik kesehatan yang
sepertinya sudah sering bekerjasama dengan si Umik. Dari klinik
tersebut, sambil membawa hasil foto rontgen, kami kembali ke tempat
praktik Umik.
Si bungsu
dibaringkan de dipan. Sementara Umik mengamati hasil rontgen.
“Oh, ini tidak patah tulang. Hanya tulang sendinya bergeser karena
jatuh,” kata Umik.
Umik memanggil saya
dan istri. Saya sempat berpikir beliau hendak kasih tahu uba-rampe
yang mesti kami siapkan untuk penanganan anak saya. Ya, namanya juga
'dukun'. Benar sih uba-rampe, tapi ternyata bentuknya bukan
daun sirih, asam jawa atau madu tawon lanceng. Begini kata Umik
kemudian,” Cedera tangan anak Bapak ini tidak seberapa. Saya kira
dalam dua bulan akan sembuh. Tapi biayanya mahal. Kalau sampeyan
setuju akan kami tangani, kalau tidak ya terserah...”
Saya agak kaget
juga. Satu hal yang tadi dikatakan tetangga saya terbantah sudah.
Bahwa tangan anak saya bukan sekali pijat langsung sembuh. Tapi; dua
bulan sodara-sodara! Dua bulan. Juga mahal.
Namun sering uang
menjadi pertimbangan kesekian di saat darurat. Yang penting segera
ditangani. Lagian, masak iya si bungsu kami bawa pulang lagi tanpa
diapa-apakan setelah menempuh perjalanan sejauh ini. Sedangkan dia
selalu merintih kesakitan sambil memegang siku tangannya. Maka kami
setujui saja syarat yang diajukan Umik, walau nominal yang beliau
bilang bisa jadi setara ponsel Samsung J Series yang sedang
saya pegang. “Harga tersebut sampai sembuh. Tidak ada biaya tambahan
kecuali obat atau perban,” ada keterangan begitu pada lembar
kwitansi pembayaran yang saya terima.
Setelah kami
setujui itu, Umik dengan dibantu dua asistennya langsung menangani
anak saya. Satu orang asistennya memegang tubuh anak saya, satunya
lagi menarik lengannya lalu menekuknya sikunya beberapa kali. Tentu
disertai tangisan anak yang yang keras sekali. Tentu karena begitu
sakitnya. Namun sebagai yang sudah pengalaman, mereka bertiga tak
peduli tangisan kesakitan anak saya. Umik melumuri lengan anak saya
entah dengan minyak apa.
Tak sampai satu jam
ditangani kami pulang dengan hasil tangan kanan anak saya diperban
dengan diberi semacam papan pas disiku tangannya. Pikir saya, mungkin
itu agar siku anak saya tidak bergeser lagi setelah ditangani tadi.
“Seminggu lagi bawa kesini, kontrol”, begitu pesan Umik sebelum
kami pulang tadi. Ohya, saya juga diberi obat yang mesti diminum
sesuai anjuran Umik. Sungguh seperti bukan tukang pijat saja ya?
Selain pakai foto rontgen, kasih obat pula.
Seminggu kami bawa
si bungsu kepada Umik lagi untuk kontrol. Kalau tempo hari kami
datang malam, kali ini siang. Karenanya saya lebih tahu kalau tempat
tinggal Umik ini sudah laksana 'rumah sakit' khusus tulang saja. Ada
banyak kamar untuk pasien rawat inap, dengan aneka jenis cedera.
Sambil menunggu
giliran anak saya dikontrol, saya sempat bicara dengan ibu-ibu
penjual cilok keliling. Ibu ini setiap hari keliling dari tukang
pijat satau ke tukang pijat yang lain. Ya, memang disini banyak
sekali tempat tukang sangkal putung kok. Mungkin bisa disebut sebagai
kampung sangkal putung ya.
Dari ibu penjual
cilok itu saya dapak sedikit cerita tentang kampung ini. Tentang
beberapa tukang sangkal putung yang masih ada garis keturunan dengan
kakek-neneknya yang memang punya keahlian itu, ada juga orang baru
yang dapat dibilang sebagai pendatang baru. Dari yang cuma bertarif
suka rela, sampai yang bertarif gila. Pendek kata, simpulan kasar
saya, telah ada sisi bisnis yang dimainkan beberapa tukang sangkal
putung disini. Kalau yang menangani anak saya ini, yang bicara tarif di
depan, itu masuk kategori mana?
Saya menuju ruang
tunggu tempat kontrol yang telah banyak pasien yang antre. Aneka
cedera saya lihat. Tangan, punggung, pingal, kaki dan sebagainya.
Seorang lelaki bercelana pendek berwajah Tionghoa saya lihat dua
pergelangan kakinya diperban. “Jatuh dari ketinggian,” katanya.
Secara iseng kami bicara-bicara. Pembicaraan sampai juga kepada
biaya. Dan angkanya membuat rupiah yang telah saya bayarkan kepada
Umik menjadi terasa makin tidak ada apa-apanya. Nominalnya berlipat
ganda. Mungkin memang karena cedera tulang kakinya lebih parah,
ataukah secara penampilah si lelaki itu terlihat lebih berada.
Namun, dengan
penampilan yang begitu, dan tentu sepertinya bukan orang yang tidak
terpelajar; mengapa memilih sangkal putung dibanding dokter
orthopedi?
Giliran anak saya
diperiksa Umik tiba. Saya pikir perbannya akan dilepas dan pijat
sedemikian rupa. Ternyata tidak. Ternyata hanya dibuka perbannya,
diolesi entah minyak apa, lalu diperban lagi. “Kontrol dua minggu
lagi”, pesan Umik pendek. Lalu memanggil pasien berikutnya.
Dua minggu kemudian
saya datang lagi. Setali tiga uang. Perban dibuka, kayu dibuka, siku
tangan anak saya diolesi minyak, lalu dibungkus lagi seperti semula,
legkap dengan kayunya. Lalu Umik bilang; kami mesti kontrol dua
minggu lagi.
![]() |
Hari pertama masuk sekolah bersalaman dengan guru pakai tangan kiri. |
Saya masih ingat
tetangga yang pertama mengantar dulu bilang hanya dipijat sebentar
lalu besok langsung sembuh. Saya berusaha melupakannya. Tapi selalu
gagal. Yang saya paham tentu betapa lengan anak saya sedemikian
kakunya sudah sekian minggu tak digerakkan.
Dua minggu
kemudian, tujuh minggu totalnya, saat kontrol, barulah kayu dan
perban yang membungkus tangan anak saya dilepas. Diiringi jerit
tangis anak saya yang sedemikian kesakitannya. “Mulai sekarang
sudah waktunya latihan ditekuk”, begitu kata Umik sambil menekuk
tangan anak saya. “maka, tiap hari selama dua minggu harus dibawa
kesini. Ingat; ben-di-no”, Umik memberi penegasan kami harus
membawa si bungsu utk latihan nekuk siku ke sini ti-ap ha-ri! Dengan
kesakitan yang sedemikian rupa? Yang tanpa stretching dulu.
Jawab saya dalam hati: ti-dak!
Ya, saya tak tega
mendengar jerit tangis kesakitan anak saya saat ditekuk. Mesti pakai
cara lain. Dan pasti ada cara lain. Pilihan saya medis, ke dokter orthopedi. Walau mungkin
saja awalnya kami akan dimarahi karena kenapa dari awal tidak dibawa
ke dokter dan malah langsung ke sangkal putung, baru setelah sebulan
lebih dibawa ke dokter.
Mungkin saya memang
terlambat. Tetapi apa boleh buat. Walau nanti di RS bisa saja
penanganannya memakai cara operasi. Ha, operasi? (Bersambung) ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar