SEKITAR limabelas
meter masuk jalan Bypass Pandaan, saya menepikan kendaraan dan mampir
ke sebuah toko di kiri jalan. Bukan, saya bukan hendak membeli
sesuatu, tetapi, “Maaf, numpang tanya, Pak”, kata saya kepada
seorang lelaki berpeci haji yang menjaga toko itu. “Kalau mau ke
Duren Sewu, arahnya kemana ya?”
“Putar balik ke tiga
dari depan itu, langsung belok. Jalan pertama dari situ, Sampeyan
belok kiri,” lelaki itu ramah berkata.
Setelah berterima kasih,
saya melanjutkan perjalanan sesuai petunjuknya. Bukan apa-apa, dulu,
sekira tujuh tahun lalu, karena terlalu banter membawa kendaraan,
saat akan ke rumah seorang teman yang melalui wilayah Duren Sewu itu,
saya sempat kebablasan jauh sekali. Jadi, daripada menjadi keledai
(yang kesasar dua kali), saya lakukan itu begiu masuk Bypass.
Nah, ingat sudah. Saat
masuk jalan pertama setelah U-turn ke tiga, saya ambil kiri.
Dari sini, saya bisa langsung tancap gas. Namun saya malah berhenti
dan meraih ponsel di saku. “Saya berangkat,” tak panjang yang
saya tulis, karena ia saya kirim sebagai pesan singkat.
“iya, sudah tak
tunggu”, balasnya.
Iya, SMS yang saya kirim
itu hanyalah tipu daya semata. Karena bukankah sejatinya saya sudah
berangkat dari rumah satu jam sebelumnya. Saya berangkat pagi tentu
agar tak terlalu kepanasan dan terjebak kemacetan di jalan. Dan bisa
menikmati perjalanan dalam kecepatan jalan-jalan, bukan sebagai
balapan.
Sesuai harapan,
perjalanan tadi lancar jaya. Sidoarja, Porong, Japanan, Gempol naik
ke arah Pandaan landai-landai saja volume kendaraan yang lewat.
Maklum, Kamis itu (25 Mei 2015) adalah hari libur. Hanya ada satu
dua truk besar dengan umur rada uzur memikul beban sarat berjalan
nggremet ke arah Malang. Ini mengingatkan saya akan
kekhawatiran serupa, truk itu gagal naik dan malah melorot, saat
balik dari pulang kampung dan menguntit truk bermuatan pasir dari
Lumajang ke arah Surabaya di jalan menanjak daerah Klakah.
![]() |
Suguhan serba hangat, kecuali pisang, satfinder reciever dan kacamata. |
Klagen Duren Sewu, yang
dikelola sebagai tempat wisata alam dengan nama beken Telaga Seribu
itu saya lewati sudah. Sepagi itu udara tidak lagi sedingin dulu,
bukti bahwa pemanasan global nyata adanya. Kalau di dataran tinggi
Prigen ini saja sudah demikian hawanya, tentu adalah hal wajar bila
di Surabaya, tempat tinggal saya, terik matahari di jam tujuh pagi
sudah bisa membuat kulit gosong.
Saya tiba di halaman
rumah yang saya tuju dengan disambut hangat shohibul bait dengan
masih bersarung, “katanya baru berangkat, kok sudah sampai”,
ucapnya sambil menjabat tangan saya.
“Ya, daripada kamu
penasaran dan nunggu-nunggu aku agar bisa segera melihat Kakbah,”
saya balas dengan berseloroh.
Demikianlah, kedatangan
saya ini sungguh telah ditunggu karena si wajan telah dipasangnya
sendiri. Peran saya hari ini hanya memasang LNB lalu pointing
ke Ninmedia. Sudah itu saja.
Teh hangat, jagung manis
rebus dan pisang barlin tersaji di meja sebelum saya memulai bekerja.
Sebagai teman dekat, tuan rumah sudah tahu kalau saya tak minum kopi.
Basa-basi seperlunya
saja, karena keperluan sesungguhnya ya supaya teman saya sekeluarga
itu bisa menonton televisi dengan beragam channel (termasuk
siaran langsung 24 jam dari Masjidil Haram) via satelit, gratis pula.
Sebab, di desanya yang dataran tingii itu, untuk menonton televisi
mesti pakai antena dengan tiang dari bambu tinggi sekali. Itu pun
gambar yang diterima masih bersemut.
![]() |
Pointing sudah berhasil, tuan rumah membetulkan genteng yang tadi harus dilepas dulu agar bisa nyaman dalam tracking. |
Dengan antena sudah dia
pasang sendiri, cukup memudahkan saya dalam beraksi. Pasang LNB,
goyang dumang antena beberapa saat, cling sudah. Lalu turun. Dan di
ruang tengah, telah terhidang nasi beserta lauk-pauknya.
“Seadanya saja, maklum
di gunung, gak ada ikan. Cukup sayur saja,” istri teman saya
itu, yang berasal dari Nganjuk, menyilakan saya makan bersama.
Kurang dari dua jam lalu
saya telah sarapan di rumah. Tetapi, saya ingat kalimat seorang
sahabat; jangan menolak pemberian tuan rumah, karena itu adalah
rejekimu yang dititipkan Tuhan lewat meraka.
Nasi hangat, terong
penyet plus sambal dengan tingkat kepedasan yang sedang, ditambah
telur mata sapi dan kerupuk, duhai... lezat sekali rasanya.
Sekitar jam sembilan saya
sudah pamit pulang. Dan, setandan pisang barlin, beberapa potong
jagung rebus matang (juga ditambah jagung manis yang masih mentah)
mengambil alih tempat tas alat saya yang saat berangkat tadi saya
taruh di sela antara sadel dan stang motor matic saya. Kini
tas alat itu saya kenakan sebagaimana mestinya ransel dikenakan.
Kalau berangkatnya tadi
mesti tarik gas karena naik, pulangnya lebih banyak main rem karena
jalan menurun.
![]() |
Dari depan rumah langsung bisa memandang gunung. |
Hari itu, entah kenapa,
saya sampai lupa membeli klepon di sekiran bundaran Apollo untuk buah
tangan anak-anak di rumah. Tetapi tentu saya tidak lupa bersyukur
bahwa telah diberi kelancaran PP Surabaya-Prigen dalam silaturahim
'dalam rangka' ini. Jujur, ini kedatangan saya ke sekian kali ke
rumah teman saya tadi. Semuanya, kalau saya pikir-pikir, bukan
sebagai silturahim murni. Pertama saat putranya dikhitan, kedua saat
ayahmya meninggal, dan kemarin itu; dalam rangka menyetel antena
parabola.
Suatu hari nanti, entah
kapan, saya ingin datang lagi untuk murni silaturahim. Juga, ke
tempat Sampeyan. Boleh kan? ******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar