CUACA
yang mendung ditambah pepohonan yang rimbun di area bermain anak-anak
di pantai itu, membuat suasana nyaman sekali. Lebih menyenangkan
karena saya lihat si kecil saya senang sekali berada di situ. Sebuah
acara liiburan yang murah meriah sekaligus tak perlu jauh dari rumah.
Dalam arti berikutnya; kantong tak akan terlalu bolong karenanya.
Jajanan
yang ada pun tak mahal-mahal amat, permainan ayunan dan sebangsanya
malah gratis belaka, sudah jadi satu dengan karcis masuk. Di antara
waktu menemani anak bermain, saya lihat seorang lelaki mengais rejeki
atas bantuan monyet. Tak hanya seorang, saya lihat ada beberapa
lelaki berlaku begitu; kesana-kemari menggelar tontonan topeng
monyet.
Tidak
seperti yang pernah saya lihat di kampung, yang tontonan topeng
monyet masih menggunakan gamelan asli, yang ini lebih simpel, cukup pakai speaker
kecil bersuara nyaring tetapi cemplang bertenaga accu
kecil dan tak perlu berbagi penghasilan dengan penabuh gamelan. Untuk
si aktor utama, ya si Sarimin atau entah siapa nama monyet itu,
cukuplah dibelikan pisang.
Tetapi siang itu, si Sarimin sedang mogok kerja. Entah karena sedang tidak mood oleh suatu sebab, ia tak mau menuruti kemauan tuannya untuk melakukan sebuah atraksi. Musik gamelan terus diputar, dan lewat tali tambang yang terhubung ke rantai yang melingkari leher Sarimin, si tuan membuat aba-aba tertentu agar si Sarimin beraksi. Nihil, tiada hasil. Sebuah tindakan yang lantas membuat tarikan kuat rantai di lehernya bukan lagi sebagai aba-aba, tetapi lebih kepada amarah si tuan. Saya membayangkan, duh betapa sakit leher si Sarimin diperlakukan begitu.
Hewan
tak mau beratraksi sesuai aba-aba pernah pula saya saksikan saat
menonton sirkus lumba-lumba. Ya walau kesitu demi menuruti keinginan
anak, saya toh kemudian merasa bersalah telah ikut menonton
pertunjukan yang ternyata konon amat menyiksa si pemeran utama itu.
Tentu
menyenangkan melihat binatang bisa pintar; pandai berhitung, meloncat
dan menari bersama. Dua lumba-lumba itu, kalau tidak salah ingat,
namanya Brama dan Kumbara.
![]() |
Exploitasi lumba-lumba: untuk bisa foto dengan Brama-Kumbara begini, penonton harus membayar melebihi harga karcis masuk. (foto: ewe) |
Sebelum
si Brama dan Kumbara beraksi, kami para pengunjung disuguhi
pertunjukan pembuka oleh berang-berang, beruang madu juga burung beo.
Semua tampil memesona. Dan selalu, setiap hewan-hewan itu selesai
melakukan atraksi, si pelatih memberinya makan. Sebagai hadiah?
Sebentar; apakah juga bisa dibilang hadiah bila hewan-hewan itu
dilaparkan dulu supaya mau menuruti aba-aba pelatih, dan baru diberi
makan sedikit demi sedikit bila berhasil beratraksi.
Entah
karena sudah kenyang atau kelelahan (saya menonton pada jam
pertunjukan terakhir; 19.00 s/d. 21. 00 WIB, padahal pertunjukan
digelar beberapa kali mulai siang hari) si lumba-luma Brama dan
Kumbara berkali-kali tak mau beratraksi sesuai permintaan pelatih.
Dari
beberapa artikel yang saya baca, ternyata negara kita termasuk
sedikit negara di dunia ini yang masih mengizinkan digelarnya
pertunjukan lumba-lumba. Ada beberapa alasan mengapa sirkus
lumba-lumba dilarang. Antara lain, perlakuan terhadap si mamalia laut
yang menggunakan sistem sonar dalam berkomunikasi dengan sesama
lumba-lumba itu terbilang menyiksa. Beratraksi di kolam sempit dan
dangkal dengan air PAM yang diasinkan (bukan air laut murni),
pemindahan ke antar kota tempat digelarnya pertunjukan sirkus itu
dengan hanya diangkut kendaraan dengan sedikit air dan demi menjaga
kelembaban kulitnya si lumba-lumba dilumuri body lotion yang
sebenarnya dibuat untuk kulit manusia, dll, dll.
Begitulah
ternyata; kalau kepada sesama manusia saja, untuk memenuhi
kehendaknya, orang kadang tega melanggar HAM, apalagi kepada hewan.
Demi pundi-pundi rupiiah, para penyelenggara sirkus lumba-lumba yang
berkedok konservasi itu, juga pengamen topeng monyet yang saya
ceritakan di awal tulisan ini, tentu akan lebih enteng dalam
melanggar HAH (Hak Azazi Hewan). *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar