TENGAH
malam kemarin, kami bicara kesana-kemari di teras rumah saya. Dari
nama cucu pertama presiden Jokowi yang jan njawani tenan; Jan
Ethes. Nama itu akan terbaca seperti kebarat-baratan bagi yang kurang
paham istilah Jawa. Saya setuju, nama adalah juga doa dari orang tua
untuk si jabang bayi. Dan Jan Ethes tentu sangat lebih baik dibanding
Jan Nggapleki, misalnya.
Kami,
tentu seperti siapapun yang seperti para pengamat di televisi. Yang
pinter ngomong aneka topik dengan sangat ndakik. Bedanya,
mereka terkenal dan dibayar, sementara kami bicara sepenjang malam
tentu hanya mendapati busa muncul di sudut bibir. Apa coba yang tidak
bisa kami bicarakan? Ndak ada. Semua bisa. Cerita tentang
Saipul Jamil atau tentang si Jessica memang sudah rada redup ditayang
di layar kaca, tetapi –kalau mau-- kita tak pernah kehabisan topik
untuk dibicarakan.
Saya
bulan-bulan terakhir ini dengan sengaja mengurangi menonton berita di
televisi dan atau membaca koran. Saya ingin membuktikan, tidak
mengikuti berita yang beredar pun tidak masalah. Tak apa-apa kan
mengistirahatkan pikiran dari ha-hal yang tidak kita ketahuipun tidak
apa-apa. Bukankah sekarang sumber bacaan bertebaran banyak sekali dan
akan lebih menyenangkan membaca hal-hal yang menyenangkan ketimbang
mengikuti berita politik yang sering (dibikin) tak jelas ujung
pangkalnya itu.
Disaat
ingin membaca hanya yang menyenangkan, saat dalam obrolan
ngalor-ngidul di tengah malam itu saya mendengar ada bupati muda yang
baru sebulan dilantik dan sekarang ketangkap BNN dalam kasus narkoba,
duh jan saya menyesal sekali. Menyesal sekali saya tahu berita
itu. Karena tak mengetahuinya pun saya rasa saya tak akan menderita
migrain atau kesemutan.
Ketika
obrolan makin tak tentu arah dan kami saling menimpali dengan argumen
masing-masing, dua orang melintas di gang depan rumah dengan memakai
lampu di kepalanya dan setangkai tongkat berujung pipih dan lentur
yang telah diolesi lem. Bukan, mereka bukan pencari kodok karena di
tempat kami tak ada kodok ngorek yang
teot-teot teblung itu.
“Cari
apa, Kak?” tanya saya dalam bahasa mereka karena saya dengar tadi
mereka bicara dengan bahasa daerah yang kebetulan saya juga bisa.
“Cari
cicak,” jawab salah satu dari mereka.
“Cicak?
Buat apa?”
“Buat
dijual.”
Mengalirlah
percakapan tentang harga cicak yang kalau sudah dikeringkan menjadi
berharga 400 ribu rupiah padahal kalau dijual basah cuma sehraga 40
ribu rupiah per kilogramnya. “nDak tahu itu dibikin apa, yang
penting saya cari dan menjualnya ke juragan yang menampungnya di
Leces, Probolinggo sana,” jawabnya saat saya tanya cicak itu akan
diproses manjadi jamu atau apa.
Ini dia.
Kalau sebelumnya ada tokek yang bisa berharga sampai puluhan juta per
ekor dengan berat dan ukuran tertentu, lha kok ini ada cicak
yang nilai jualnya jan menggiurkan.
Nah,
itulah hal sederhana yang lebih menggairahkan untuk dibicarakan
ketimbang berita-berita tingkah polah selebritas pada tayangan
infotainment yang kadang jan
nggilani tenan.*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar