BATAS antara meminta-minta dan
mengamen, saya perhatikan, makin tipis saja. Seringkali, pengamen
yang mampir kerumah saya saya lihat tidak menyanyi. Ia hanya
genjrang-genjreng gitar dengan nada ngawur. Alat itu ia bunyikan
sekadar memberitahu pemilik rumah akan kedatangannya. Lalu, ketika
uang receh telah diterimanya, ia akan melanjutkan pindah ke rumah
sebelah. Juga dengan modus yang sama.
Ada lagi sejenis pengamen tapi
menakutkan; ngamen jaranan. Dengan dandanan khas jaranan (celana
kombor hitam, kaos loreng putih-merah, ikat kepala, bedak kemerahan).
Tentu ia tak membawa gitar untuk mengiringi atraksinya. Ia membawa
tape yang memutar gamelan rancak kesenian khas Jawa ini. Satu
lagi; sambil menari-nari, sesekali ia memcambukkan pecut. Dan
cambukan itu makin keras saja manakala si pemilik rumah tak segera keluar
untuk memberinya uang kecil. (Ngamen kok neror...)
Hari Minggu adalah hari yang padat akan
kunjungan pengamen. Mereka rupanya tahu, hari itu rumah-rumah yang
dihari lain selalu tutup (karena ditinggal pergi penghuninya untuk
kerja), banyak yang berpenghuni. Artinya lagi, income bagi
para pengamen berpeluang untuk meningkat, ketimbang hari kerja.
Tidak hanya pengamen, hari Minggu
adalah hari kunjungan para pengemis. Saking seringnya, saya sampai
hapal wajah para pengemis itu. Salah satunya seorang laki-laki seusia
kakak saya. Melihat fisiknya, saya kira ia sehat jiwa raga. Lebih
kekar dari tukang becak yang mangkal dipertigaan pasar Rungkut.
Tetapi kenapa mengemis? Tak perlulah saya tanyakan hal ini kepadanya.
Sampeyan tentu pasti tahu.
Belakangan, saya juga kedatangan lelaki
itu lagi. Untuk mengemis? Ah, tidak lagi sekarang. Rupanya ia telah
'naik kelas'. Ia datang tidak dengan baju lusuh dan celana kumal.
Juga tidak menyandang tas compang-camping. Ia tampil lebih 'necis';
celana panjang warna hitam, baju putih lengan panjang, songkok putih
ala haji, dan map hijau dengan lembaran yayasan 'anu' didalamnya
lengkap dengan surat permohonan sumbangan.*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar