HALAMAN depan koran yang saya
baca hari ini memampang peta. Peta bukan sembarang peta; peta
bencana. Beginilah, musim hujan senantiasa datang berombongan bersama
musim-musim yang lain. Musim banjir, musim angin putting beliung,
musim pohon dan bangunan roboh dst, dsb.
Tetapi, sebencana-bencananya di negeri
ini, bila belum ada lagunya Ebiet G Ade yang diputar berulang-ulang
di semua stasiun televisi, itu artinya si bencana masih dalam taraf
'kecil'. Rumah roboh kok kecil? Kebanjiran kok kecil? Satu orang
tewas kerobohan gedung madrasah di Pamekasan kok kecil?
Seperti sekolah, kesedihan pun ada
kelasnya. Ada tingkatannya.Dan, apesnya, tingkatan itu tidak satu
kata satu rasa oleh si korban dan si mengurusi bencana. Kelas bencana
rutin yang ajeg datang saban tahun itu, turun karena kita
pernah ditimpa bencana besar; tsunami Aceh!
Ya, sejak tsunami yang meluluh
lantakkan bumi Serambi Mekkah itu, dengan jumlah korban jiwa begitu
banyaknya, (yang untuk menguburkan para korbannya ditimbun 'begitu
saja' memakai bolduzer,) membuat bencana lain yang datang belakangan.
menjadi terkesan kecil. Ia selalu kalah telak oleh bencana Aceh.
Sebulan pasca tsunami Aceh itu, saya
dapati seorang bulik (bibi) ipar saya membagi sarung, kaos,
dan sabun mandi. Saya yang baru datang turut ditawarinya pula.
Mula-mula, demi menghargai sebuah pemberian, saya mau saja sekalipun
mutu kain sarung itu tak seberapa bagus. Tetapi, ketika saya tanya
darimana mendapatkan sarung dan lain-lain itu, bulik saya menjawab
begini; “Ini oleh-oleh dari paman suami saya yang bertugas
mengantar bantuan untuk Aceh. Ia mengambil sebagian barang dari kapal
yang turut diawakinya.”
Jawaban itu sungguh telah menghilangkan
selera saya untuk turut mengambilnya. Saya malu. Saya hanya
menyumbangkan pakaian bekas untuk mereka, kok ini malah mau ngambil
barang baru yang seharusnya juga untuk mereka?
Sungguh, lagu Ebiet menemukan adegannya
disitu, dalam kekalutan, masih banyak tangan, yang tega berbuat
nista ho ho ho....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar