SEPERTI biasa, saya mudik lebaran di hari ke dua. Hari pertama masih harus kerja. Bahkan kemarinnya, di malam takbiran, juga masih harus piket.
Namun, setelah dua kali lebaran pemerintah membuat pembatasan, pun untuk urusan mudik dan juga sholat id, kali ini: brol. Dilepaskan. Maka di televisi saya lihat orang terpaksa sampai bermalam di pelabuhan penyeberangan, saking antrenya. Saking membludaknya pemudik.
Sebelumnya, demi mudik ini, apapun dilakukan. Termasuk dijus pakssin buster. "Tapi di perjalanan sama sekali tidak ada ditanyakan. Juga di penyebetangan", kata teman saya yang mudik ke Singaraja.
"Selamat, sampeyan kena prank. Wkwkwk," goda saya.
![]() |
Istri dan anak-anak saya ajak istirahat sejenak di 'hotel Merah Putih'. Maaf, wajah saya diwakili oleh penampakan helm saja.😊 |
Saya juga mudik, tapi tak sejauh para pemudik yang dengan riang menulisi bagian belakang kardus bawaannya dengan aneka tulisan genuine dan lucu, walau ada pula yang wagu. Ada yang Jakarta-Sragen, atau mBogor-Purwodadi. Saya dekat saja. Ke nJember. Tapi, baiklah, saya akui. Pinggang dan pantat saya bukan muda lagi. Menempuh jarak mudik yang hanya 200 km kurang dikit itu, berkali-kali harus menepi. Mendinginkan pantat. Sekaligus ngeluk boyok, terlentang di bangku warung yang sedang tutup, ditinggal pemiliknya libur lebaran.
Tapi mudik harus tetap prokes, alah mbel apa? Jangankan manut anjuran halal bi halal boleh asal meniadakan makan bareng dan ngobrol, lha wong di kampung saya pakai masker saja sudah tiada temannya. Kecuali anak istri. Pokoknya di desa sudah los dol.
Kalau sudah begitu, apa ya tega tak menyambut uluran tangan sanak saudara dan para tetangga untuk saling salaman? Ndak-lah. Sekarang idul fitri. Saat tepat bermaafan. Lahir-batin.*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar