Senin, 30 November 2015

GlobalTV, Rusia vs Turki dan Kasus Setnov

DUA tetangga berjarak satu rumah di barat rumah saya meninggikan rumahnya menjadi dua lantai. Syukur alhamdulillah rezeki mereka berlimpah sehingga mampu membangun rumah lebih megah. Alhamdulilllahnya lagi, karenanya saya tak mungkin lagi main-main menembak Thaicom-5 untuk keluyuran menengok 'kebun kates' di satelit itu. Walau saya menjadi kurang bersyukur juga karena antena UHF saya ikutan terhalang tembok tinggi mereka.

Beberapa channel UHF menjadi kurang cling, tetapi masih bisa beralih ke Palapa-D atau Tekom-1 demi menyaksikan semua saluran televisi nasional. Kecuali GlobalTV (yang dua minggu ini sinyalnya pelit sekali) tempat Naruto beraksi mulai menjelang maghrib sampai hendak Isya'. Begitulah, jam segitu lazim dibilang jam utama, prime time. Prime time pula untuk melakukan hal yang lebih bermakna; menemani anak-anak belajar atau mengaji. Tetapi televisi menohok siapapun di jam berapapun dengan tayangan semau mereka dengan tanpa ampun. Pemirsa tak punya kuasa lebih besar kecuali meraih remote control dan mematikannya.

Makanya sama sekali saya tak menyesal manakala tak berhasil mendapatkan sinyal GlobalTV di Palapa-D. Dengan memakai 4 LNB, toh saya bisa melanglang angkasa mencari channel lain di satelit lainnya. Dan konsentrasi saya kini tertuju kepada Al Jazeera untuk mengetahui kabar terbaru kawasan Timur Tengah dan wilayah konflik lainnya di jazirah Arab dan sekitarnya.

Yang terbaru tentu gesekan tajam antara Turki dan Rusia setelah peristiwa penembakan Shukoi oleh F16 milik Turki. Saya bisa memantau reaksi keras Rusia via channel Russia Today (yang beberapa hari belakngan ini selalu menayangkan perkembangan peristiwa itu dalam Breaking News-nya –tentu dengan kacamata Rusia) tetapi tolong kasih tahu saya channel televisi Turki yang siaran FTA di satelit Asiasat5 atau Asiasat7. Perang terbuka secara dar-der-dor di medan sesungguhnya mungkin terjadi belakangan, tetapi biasanya perang (propaganda) di media (termasuk juga televisi) sebagai bumbu permulaan akan ditaburkan lebih dulu. Mengikuti berita itu tentu lebih 'asyik' ketimbang menyimak kasus Papa Minta Saham yang menyeret ketua DPR Setya Novanto. Menurut saya yang awam hukum ini, rasanya kasus itu makin hari makin mbulet saja dan bisa jadi akhirnya malah hilang ditelan berita banjir bandang yang acap terjadi di negeri ini pada musim hujan. *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar