SEBUAH
minimarket yang sekarang memiliki jaringat luas, membuat satu
ketentuan 'kalau pelayan lupa memberi salam saat pelanggan masuk, si
pelanggan berhak atas sekaleng soft drink, gratis'. Itu saya dapati
beberapa tahun yang lalu, saat awal-awal minimarket itu membuka gerai
tidak jauh dari rumah saya. Apakah hal tersebut, (kala itu) juga
dilakukan di tempat lain saat pembukaan gerai anyar? Saya tidak tahu.
Kini,
yang saya tahu, ia tumbuh laksana biskuit di masa Lebaran; banyak
sekali, di seantero negeri. Yang mendominasi ya cuma mereka berdua,
yang secara warna tidak jauh berbeda. Apalagi secara tempat. Ibarat
judul lagi jadul; Dimana Ada Kamu Disitu Ada Aku. Bahkan, untuk
menggambarkan pertarungan dengan kompetitornya, mereka melakukan head
to head
secara nyata. Berhadapan hanya berbatas jalan, atau berdampingan
berbatas tembok belaka. Anda lebih sering berbelanja ke yang itu atau
ke yang sana?
“Dibanding
di toko biasa, harga barang disitu lebih mahal,” kata istri saya
yang –seperti istri siapa pun-- sungguh sangat mempertimbangkan
harga.
Tetapi
dengan kehadirannya nyaris di depan hidung siapapun, ia menjadi
'pembunuh bertangan dingin' toko kelontong tradisional. Ya, harga
memang agak lebih mahal, tetapi dengan tata letak barang yang rapi,
dengan pembeli bisa sesuka hati memilih sendiri, bisa bayar aneka
tagihan bulanan sampai tiket kereta api, berpendingin udara, ada ATM,
buka 24 jam, oh lengkap sudah kekalahan si toko kelontong.
Walau
sudah begitu, sungguh saya tidak habis pikir saat si kasir dengan
enteng bertanya kepada pembeli saat uang kembalian ada pecahan
recehnya, “Yang empat ratus boleh didonasikan?”
Dengan
pembeli lain sudah antre di belakang kita, kalau hendak bilang
'tidak' saat ditodong begitu, sungguh sebuah dilema; tidak
mendonasikan dikira pelit, mendonasikan tidak tahu itu untuk apa dan siapa.
Iya sih, cuma setarus atau empat ratus rupiah. Namun kalau dikalikan
jumlah orang yang 'terpaksa' menyumbang, lalu dikalikan lagi jumlah
jaringan minimarket itu di seluruh Indonesia, ho ho ho... sungguh
sangat besar sekali nilainya.
Iya
juga sih, dalam menyumbang sungguh tidak baik sampai menelusuri
sumbangan itu akan digunakan untuk apa oleh siapa. Yang penting ikhlas. Urusan
tanggung jawab, bisa diserahkan kepada Yang Maha Kuasa. Masalahnya,
sekarang ini, tidak sedikit orang yang sudah kehilangan rasa takut,
bahkan juga kepada Tuhan.
Bagaimana,
“Yang tiga ratus boleh dinonasikan?” *****