BUAH yang relatif rutin dikonsumsi Ibu Negara adalah pepaya. Nyaris saban hari. Untunglah buah ini harganya murah. Delapan ribu rupiah dapat separuh. Itu kalau pepayanya besar. Perkata manis dan tidak itu lain soal. Kadang, saya belikan yang ranum, buah terlihat merah merona, eh rasanya bikin merana.
Dengan membeli separuh, buah utuh yang telah dibelah, saya jadi tahu penampakannya. Isinya sudah hitam pertanda tua, buahnya sudah merah menyala dengan rasa yang belum tahu juga🥹. Namanya juga tidak dikasih tester.
Tempo hari, sepulang ngantar Ibu Negara ngantor (baca: kerja di pabrik) di setelah lampu merah pertigaan Kalirungkut, ada pepaya utuh jatuh di pinggir jalan. Pepatah bilang, buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Tetapi di dekat situ tiada pohon pepaya, tiada pula toko Papaya. Lalu pepaya ini punya siapa?
Pepaya ini kelihatan tua bukan karena kulitnya keriput dan ubanan, tetapi ada semburat kuning kemerahan di kulitnya. Kalau di tukang buah langganan, pepaya segede itu seharga lima belas ribu.
Tolah toleh tidak ada orang di dekatnya, saya duga pepaya itu jatuh dari keranjang penjual pepaya. Kasihan? Tentu saja. Tetapi apa daya, kepada siapa saya mengembalikan? Bisa jadi si pembawa pepaya langsung bablas dan tak menyadari pepayanya jatuh. Jadi? Kalau tak saya ambil bisa bahaya. Bisa diambil orang lain! Ya itu rezeki saya, pikir saya --yang kalau saya minta pendapat bos Jarwo pastilah ia sependapat dengan saya. Entah kalau bertanya ke Bang Haji Udin.
Singkat cerita, saya bawa pepaya itu. Lumayan, bisa saya kasihkan ke Ibu Negara.
Belum dua ratus meter saya bawa, di depan saya lihat ada bapak-bapak penjual pepaya menghentikan motor dengan keranjang penuh pepaya. Waduh!
Rupanya ia dikasih tahu orang kalau pepayanya ada yang jatuh. Untunglah dia gak tahu pepaya itu sudah saya ambil. Dengan lagak sok berbudi luhur, saya kembalikan pepaya itu. Saya bilang, "Tadi saya nemu di dekat lampu merah, makanya saya uber hendak saya kembalikan."
Padahal...🫢****