“BEGINI,”
Kang Karib menunjukkan jari tengah dan telunjuk secara dempet ketika
Mas Bendo bertanya siapa yang menang dalam Pilpres nanti.
“Begitu
piye to, Kang?” Mas Bendo ora mudheng, tidak
mengerti.
“Artinya,”
Kang Karib tetap mendempetkan dua jarinya, ”selisih suara, siapa
pun yang menang nanti, Jokowi atau Prabowo, ya hanya seperti
perbedaan tinggi jariku ini. Tipis sekali.”
“Wah,
kalau begitu, apa tidak akan menimbulkan 'keributan', Kang? Paling
tidak akan berbuntut tuntutan pemilihan ulang seperti saat Pilgub
Jatim dulu?”
“Ya,
karena terdiri dari dua pasang yang bertarung, pastilah pemenang
langsung bisa ditentukan. Artinya pasti ada kan yang menang 50% plus
satu. Artinya lagi, harus ada yang legawa mengakui kekalahannya.”
“Ya
nggak segampang itu, Kang? Orang nyalon lurah tapi gak jadi saya
habis banyak, je. Lha apalagi ini nyalon presiden, pastilah
biaya untuk itu buanyak sekali. Apalagi Pak Prabowo sudah dua kali
ini maju, ya sepertinya ngebet sekali ingin menang.”
“Jangan
begitu, nDo” cegah Kang Karib. “Apa kamu pikir pak Jokowi itu
juga gak ngebet?. Iya kan? Siapa pun yang maju, boleh saja punya
ambisi, tetapi janganlah terlalu ambisius.”
“Makanya, agar menang, ada yang sampai memakai kampanye hitam ya, Kang.?”
“Iya,
tetapi tentu kita tidak tahu siapa sebenarnya oknum yang
menghembuskan black campaign itu. Iya, to?!
Masing-masing tim sukses tidak ada yang mengaku melakukannya, dan
masing-masing menyadari tidak ada gunanya berkampanye secara hitam
begitu. Itu malah bisa merugikan.”
“Apa
yang melakukan itu hanya simpatisannya, Kang?”
“Bisa
jadi begitu,” sahut Kang Karib. “Bisa jadi juga tidak begitu.”
“Tidak
begitu piye to, Kang?”
“Ya,
bukan tidak mungkin kan isu yang beredar di kalangan bawah hadir by
design. Ada 'orang pintar' yang sengaja membakar akar rumput.”
“Tapi
bukankah masyarakat kita sudah makin cerdas dalam berdemokrasi, Kang?
Buktinya, dalam Pileg kemarin. Malah para caleg yang kelihatan kurang
cerdas, pakai ngasih-ngasih duit, eh, cuma diambil duitnya, pas
coblosan, orang tetap milih sesuai kata hati sendiri.”
“Itu
yang 'cerdas'. Tetapi ingat, nDo. Yang belum begitu cerdas kan juga
ada. Sekalipun tak terlalu banyak, yang fanatik mutlak kan juga ada,”
terang Kang Karib. “Nah, kelompok ini yang bahaya.”
“Sebahaya
apa sih, Kang?”
“Ibarat
kata, orang-orang di atas itu sedang menggosok kayu untuk membikin api
seperti jaman purba dulu. Yang di atas kan cuma memutar-mutar telapak
tangan, yang kebakar kan yang di bawah, yang akar rumput...”
“Dan
si pembakar itu masuk dalam jajaran tim sukses di masing-masing
pasangan calon, begitu?”
“Kalau
tidak ketahuan ya begitu, tetapi kalau ketahuan pastilah ia dijadikan
kambing hitam yang dituduh bermain solo, tanpa ada komando.”
“Kalau
begitu, sepanas apapun suhu politik negara kita hari-hari ini, kepala
kita harus tetap dingin ya, Kang?”
“Betul,”
Kang karib mengiyakan. “menelan mentah-mentah semua kampanye hitam
hanya akan membuat otak kita ikutan hitam, nDo...” *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar