HARI itu jam 08.15 WITA (Waktu
Indonesia Tabanan) saya datang ke kantor PO Gunung Harta di jalan
Ngurah Rai. Di halaman kantor ada beberapa penumpang yang rupanya
siap berangkat pagi itu. Juga tujuan Surabaya. Ya, hari-hari itu
sejumlah bus dan mobil travel atau carteran sedang panen penumpang
karena bandara Ngurah Rai sedang ditutup akibat debu erupsi Gunung
Agung yang menggganggu operasional penerbangan. Para penumpang yang
akan ke Jakarta atau tujuan lain, banyak yang harus ke Juanda dulu.
Setelah antre, sampailah saya di depan
petugas PO Gunung Harta. “Maaf, Bapak ke tujuan mana dan untuk
keberangkatan kapan?”, tanya petugas setelah lebih dulu mengamalkan
SOP 3 S (senyum, sapa, salam).
“Surabaya, untuk keberangkatan hari
ini”, jawab saya sambil mengedar pandang ke ruang kantor yang tak
berapa luas dengan kondisi relatif kurang bersih.
Petugas tersebut langsung cek layar
komputer dan sejenak kemudian bilang, “Maaf, Pak. Untuk
keberangkatan hari ini ke Surabaya sudah penuh. Tapi kalau mau,
silakan Bapak tinggalkan nomor ponsel yang bisa kami hubungi.
Barangkali nanti ada penumpang yang cancel”.
Tidak ada alasan untuk tidak menuruti
saran petugas tersebut. Dan saya balik kanan ke kantor di jalan Pulau
Menjangan setelah lebih dulu mampir sejenak di sudut jalan Ngurah Rai
untuk beli klepon Sidoarjo yang penjualnya orang Krembung.
Benar saja, belum jam sepuluh pagi saya
sudah dapat telepon dari Gunung Harta yang mengabarkan ada satu kursi
kosong tujuan Surabaya untuk keberangkatan jam lima sore. “Tapi
kursinya nomor 8-D lho, Pak.” kata suara di ujung telepon.
“Gak apa-apa, asal saya bisa
berangkat ke Surabaya hari ini,” jawab saya.
Dari obrolan ringan dengan penumpang
yang sudah pernah naik Gunung Harta, dia bilang kalau berangkat jam
lima sore dari Tabanan, nanti tiba di Bungurasih sekitar jam 3 pagi.
Sekian jam lewat darat tentu bukan lawan sepadan bila bandingkan
dengan bila terbang Ngurah Rai-Juanda yang cuma empat puluh lima
menit. Mau dibandingkan gimana coba, lha wong bandaranya sedang tutup
kok.
Setelah masuk bis dengan bodi dominan
warna hijau itu baru tahu saya, ternyata kursi nomor 8-D tepat di
dekat toilet. Apakah penumpang yang membatalkan keberangkatannya tadi
itu karena posisi yang aduhai ini ataukah sebab lain, tentu saya tak
tahu.
Tak terlalu meleset jauh, jam lima sore
lebih sekian menit bis mulai putar balik dari depan kantor Gunung
Harta, lalu belok kanan di perempatan Patung Soekarno jalan By Pass
Tabanan, terus meluncur ke arah Negara, terus lewat pantai Soka,
terus... terus saya tertidur.
Sebelum tidur tentu saya masih sempat
melihat sepasang turis asal Korea yang sepertinya lagi honey moon
ke Pulau Dewata, juga lelaki jangkung asal Perancis yang terlihat
kurang nyaman duduk di kursi bis yang jarak antara dengkulnya dan
kursi depan memang tidak didesain untuk postur sejangkung dia. Si
Perancis itu duduk tepat di depan saya. “Saya mau ke Jakarta,”
katanya saat saya tanya. Saya memang tak terlalu fasih berbahasa
Inggris, apalagi Perancis. Dan si Perancis itu ternyata malah
terbilang lancar jaya berbahasa Indonesia. “Saya sudah setahun di
Indonesia,” katanya. Oh, pantesan.
Keangkeran kursi nomor 8-D baru saya
rasakan sekian jam kemudian. Ketika beberapa kali si Perancis di
depan saya itu, yang kakinya terpaksa memakan bagian tengah
antarkursi untuk selonjor sedemikian rupa, mesti memberi jalan
orang-orang yang hendak buang air. Pendingin yang terlalu adem atau
mereka terlalu banyak minum, semakin malam, semakin sering saja
penumpang yang buang air. Efeknya, bau pesing makin dekat ke hidung
saya, termasuk hidung si Perancis yang mancung dan berlubang besar,
yang tentu penciumannya lebih peka. Hehe...
Kenapa toilet makin malam makin pesing
baru tahu sendiri saat saya harus juga buang air. Sodara pemirsah,
ternyata pipis di toilet saat bis berjalan itu horor juga. Walau
'selang' saya pegang, ternyata goncangan tetap membuat semburan air
kocar-kacir. Tidak pas masuk ke toilet, malah mancur
kesana-kemari dan bahkan nyiprati celana sendiri. Air untuk
menyiram si pesing itu ada tersedia sih, tetapi entah malas
atau karena kocar-kacir itu sehingga walau toilet disiram tetap saja
pesing. Beberapa kali si Perancis itu menyempotkan pewangi untuk
mengusirnya.
Tujuh jam dalam keadaan begitu, sungguh
nyaris bikin saya pingsan. Ini mungkin kenapa kursi nomor 8-D itu
dihindari penumpang sebelum saya yang membatalkan perjalanannya.
Ternyata oh ternyata.
Jam 02.45 dini hari saya tiba di
Medaeng. Tak menunggu sampai terminal Bungurasih yang masih sekian
ratus meter di depan, bersama beberapa penumpang saya loncat turun,
dan sejurus kemudian telah masuk ke dalam taksi Blue Bird yang
memang antre menunggu penumpang di situ. Lega rasanya. Karena
lima belas menit kemudian saya telah tiba di rumah.*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar