MASA kecil dulu, setelah
mengaji, hampir tiap malam kami nonton pertunjukan ludruk di gedung
kesenian di kampung kami. Sebagai anak-anak, kami nunut ke
siapa saja yang membeli karcis. Menggandeng tangannya, agar penjaga
pintu masuk menganggap kami anak atau keponakannya.
Sebagai anak-anak, kami dibiarkan saja
masuk ke ruang belakang panggung, tempat para pemain berdandan
sebelum tampil. Di antara mereka, ada beberapa lelaki yang kemayu.
Kami menyebutnya wandu. Biasanya mereka akan tampil setelah
tari pembuka, remo. Bersanggul segede ban truk, memakai kebaya dan
kain panjang, mamakai bedak dan lipstik rada menor, berbuah dada
seruncing gunung Semeru, tetapi berjakun. Walau suara dalam tampilan
koor tembang-tembang Jawa itu sudah diperempuan-perempuankan, tiada
yang tak tahu kalau mereka adalah laki-laki.
Di luar jam pertunjukan, beberapa kali
saya melihat diantara mereka. Yang tetap kemayu, tetap
melambai, mungkin peran yang terlalu didalami sehingga kebawa di luar
panggung. Atau, mereka memang lebih nyaman sebagai wandu
ketimbang lelaki.
Saat SMP, di kelas saya punya dua orang
teman yang kemayu begitu. Tindak-tanduknya gemulai, dan kalau
berantem; saling jambak rambut dan mencubit. Jan persis
perempuan. Sebagai remaja keren (ekhm, ekhm...) kala itu saya takut
juga. Masa puber yang biasanya selain ditandai dengan panen jerawat,
mulai timbul pula ketertarikan kepada lawan jenis, teman saya yang
kemayu itu makin kentara saja kalau suka sesama 'pisang
goreng'. Sebagai juga pemilik pisang goreng, saya harus jaga jarak.
Kalau sampai si kemayu itu naksir saya, hiiii...... bisa gajah
makan kawat; gawat.
Kini, kabar terakhir yang saya dapatkan, salah satu kawan kemayu saya itu sukses di Denpasar dan selain telah memiliki beberapa salon juga telah memiliki 'suami'. Bahkan, karena telah punya banyak uang, kabarnya ia telah melakukan operasi mengganti pisang gorengnya menjadi terang bulan.
Kini, kabar terakhir yang saya dapatkan, salah satu kawan kemayu saya itu sukses di Denpasar dan selain telah memiliki beberapa salon juga telah memiliki 'suami'. Bahkan, karena telah punya banyak uang, kabarnya ia telah melakukan operasi mengganti pisang gorengnya menjadi terang bulan.
Kabar tentang LGBT yang belakangan
ramai dibicarakan orang yang membuat saya ingat kawan-kawan kemayu
saya itu. Termasuk ingat pula kepada mantan atasan saya yang sampai
kini tetap belum menikah di usia dan karir matangnya. Itu secara
normal, walau secara LGBT bisa jadi ia telah bahagia dengan
pasangannya. Tetapi kebahagiaan macam apa bila hubungan itu tak akan
pernah melahirkan keturunan? Karena, seperti ditulis teman
kompasianers, “spermatozoid tidak akan bisa membuahi usus besar
atau amandel.” Semakain banyak orang melakukan LGBT, akan
mengurangi jumlah generasi yang lahir. Dan bila semua orang melakukan
LGBT, tamat sudah. Generasi akan cures, punah.
Iya, ada banyak hal, termasuk LGBT ini,
yang secara keukeuh berlindung di ketiak HAM. Padahal HAM
jugalah bahwa setiap orang berhak mempunyai keturuan demi
keberlangsungan generasi. Pendek kata, ternyata HAM itu tak bisa
diberlakukan secara universal. Suatu tindakan yang dianggap tidak
melanggar HAM di Amerika, misalnya, akan dipahami sebagai sangat
melanggar HAM di kampung saya. Makanya, jangan sedikit-sedikit bilang
ham-hom, ham-hom begitu.
Ada pengalaman HAM saya dilanggar saat
terlelap dalam perjalanan balik dari kampung ke Surabaya naik bis
suatu malam. Karena penumpang tak seberapa, begitu bis masuk tol,
kondektur menyilakan saya untuk tidur di bangku belakang. “nanti
saya bangunkan kalau sudah tiba di Bungurasih,” katanya.
Nyaman sekali, bukankah memang tiada obat paling mujarap selain tidur bagi penderita kantuk berat? Saya ambil posisi kaki selonjor dengan tas difungsikan sebagai bantal. Lagi lelap-lelapnya tidur, ada penjahat yang menggerayangi harta berharga yang sebenarnya sudah saya sembunyikan rapat-rapat di dalam celana. Bukan dompet dan isinya yang selalu tidak seberapa, tetapi saya merasakan pisang goreng saya hendak dicopet oleh orang ganteng berdadan perlente yang entah sejak kapan duduk di dekat saya. Saya kontan bangun, dan kalau saja ia tak langsung pergi dengan klejingan, saya nyaris memberinya hadiah manis berupa upper cut ke rahangnya.
Nyaman sekali, bukankah memang tiada obat paling mujarap selain tidur bagi penderita kantuk berat? Saya ambil posisi kaki selonjor dengan tas difungsikan sebagai bantal. Lagi lelap-lelapnya tidur, ada penjahat yang menggerayangi harta berharga yang sebenarnya sudah saya sembunyikan rapat-rapat di dalam celana. Bukan dompet dan isinya yang selalu tidak seberapa, tetapi saya merasakan pisang goreng saya hendak dicopet oleh orang ganteng berdadan perlente yang entah sejak kapan duduk di dekat saya. Saya kontan bangun, dan kalau saja ia tak langsung pergi dengan klejingan, saya nyaris memberinya hadiah manis berupa upper cut ke rahangnya.
“Memangnya saya lelaki apaan?”
umpat saya dalam hati dengan suara sengau bagai bencong. ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar