KALAU pada ajang Grammy Award atau ajang-ajang lain yang
sejenis itu ada istilah red carpet,
di masjid tempat saya sholat id tadi ada green
carpet. Ya, karpet selebar satu meter berwarna hijau itu dihampar memanjang
sejak undakan masjid sampai ke ujung di dekat pengimaman. Peletakan yang di tengah-tengah
begitu, seolah membelah masjid menjadi dua bagian, kiri dan kanan. Selatan dan
utara.
Berangkatnya tadi, agak saya kebutkan langkah kaki. Dalam
pikiran terbayang, kalau datang terlambat, bisa-bisa saya tidak mendapat tempat
di dalam masjid. Bisa-bisa hanya di halamannya. Atau malah harus menggelar koran
untuk kemudian ia dijadikan alas sajadah di jalan raya.
Saya lihat, banyak sekali calon jamaah yang duduk
bergerombol di pinggir jalan. Saya terus saja berjalan. Saya terus saja
berharap mendapat tempat di dalam masjid. Dan benarlah adanya. Ternyata masjid
masih longgar. Terutama di lantai dua. Tetapi saya memilih di lantai satu
saja. Sekalipun di ruang utama sudah penuh jamaah, saya masih mendapatkan tempat
di serambinya yang masih lega. Posisi saya persis di dekat green carpet itu.
Setelah sholat dua rakaat, saya duduk sambil mengikuti
takbir.
Saya melihat ke kiri kanan, dan mendapati hampir sebagian besar terlihat baju yang dikenakan para jamaah adalah baju baru. Kecuali para pengurus takmir masjid. Baju seragam berbentuk jas warna krem itu sering saya lihat saat mereka masjid mengadakan acara. Termasuk acara sholat idul fitri ini.
Saya melihat ke kiri kanan, dan mendapati hampir sebagian besar terlihat baju yang dikenakan para jamaah adalah baju baru. Kecuali para pengurus takmir masjid. Baju seragam berbentuk jas warna krem itu sering saya lihat saat mereka masjid mengadakan acara. Termasuk acara sholat idul fitri ini.
Ini sarungku, mana sarungmu? Foto: ewe. |
Selain baju, yang juga pada baru adalah sarung.
Dengan poisisi yang di pinggir green carpet yang menjadi jalan masuk para jamaah yang baru datang begitu, membuat saya bisa membaca merek apa saja sarung yang mereka kenakan. Dan, mungkin, inilah bedanya sarung dan baju. Baju, mereknya seringkali dipasang pada bagian kerah sisi dalam. Dengan begitu, saya tidak bisa membaca merek apa baju yang dikenakan orang yang barusan lewat di samping saya. Kalau sarung tidak begitu.
Dengan poisisi yang di pinggir green carpet yang menjadi jalan masuk para jamaah yang baru datang begitu, membuat saya bisa membaca merek apa saja sarung yang mereka kenakan. Dan, mungkin, inilah bedanya sarung dan baju. Baju, mereknya seringkali dipasang pada bagian kerah sisi dalam. Dengan begitu, saya tidak bisa membaca merek apa baju yang dikenakan orang yang barusan lewat di samping saya. Kalau sarung tidak begitu.
Merek sarung, oleh produsen sering (bahkan selalu) dijahit
di bagian tengah motif sarung sisi bawah. Tepat di bagian tengah kain sarung,
selebar sekitar dua puluh centi, dengan corak warna yang berbeda dari sebagian
besar kain sarung itu. Dan, karena orang (termasuk saya) sudah terbiasa memakai
sarung dengan lipatan sedemikian rupa, merek sarung itu dapat terbaca dengan
jelas di bagian belakang paling bawah.
Secara branding
itu tentu ada maksudnya. Tetapi, dengan begitu, ketika sedang sholat berjamaah,
dan seorang sedang khusuk sambil agak menunduk dan memejamkan mata, ketika ia
sekali saja membuka mata, kalau tidak benar-benar konsentrasi, pesan ‘iklan’ sarung itu
terbaca juga. Atlas misalnya, atau
Mangga, atau Wadimor, atau Gajah Duduk atau yang
lainnya.
Sambil duduk bertakbir di pinggir green carpet itu, saya mendapati orang-orang lewat memakai aneka merek sarung. Dari yang umum
seperti yang saya sebutkan di atas tadi, sampai merek-merek yang baru saya
tahu. Yang ikut tertenun, tidak dijahit misalnya, ada merek BHS (hurufnya tertulis dengan besar dan
mencolok), juga ada Sarung Samarinda
dengan tenunan angka 210 di atasnya,
ada juga yang agak nyeleneh. Sarung merek MPR.
Entah itu produksi mana.
Dan seorang jamaah yang di depan saya, sarungnya
mengingatkan saya akan masa kecil saya dulu. Sarung yang dipakainya persis yang
saya kenakan saat dikhitan. Yakni sebuah sarung batik dengan sambungan pada
sisi tengah secara horizontal. Jadinya sarung ini ada dua jahitan, jahitan
vertikal (sebagaimana lazimnya sarung) dan satu lagi jahitan horizontal. Saya lupa
sarung saya dulu mereknya apa. Tetapi yang dikenakan orang di depan saya ini mereknya
tertenun angka 210. Tanpa embel-embel kata-kata lagi.
Saya perhatikan dari belakang, sepertinya saya tidak mengenal sosok
pemakai sarung yang berambut agak panjang itu. Tetapi, seandainya, angka pada bagian bawah belakang sarungnya
adalah 212, tentu saya langsung menduga ia adalah si Wiro Sableng. *****
Terimakasih, Tokoh Idola.
BalasHapusSelamat Idul Fitri. Mohon Maaf Lahir Batin....