“SEJAK saat ini kita pacaran,
ya,” kata Melati (tentu bukan nama sebenarnya), teman sekelas saya.
Kalimat itu tentu bukan kalimat tanya.
Ia tegas terucap sebagai kata perintah. Dan saya, mungkin lebih
beruntung ketimbang kejatuhan durian runtuh!
Lebih lanjut Melati lalu bercerita;
semalam pak AR (pakai inisial saja ya) bertandang kerumahnya. Bertamu
untuk kunjungan yang sangat serius. Bukan sekadar kedatangan seorang
guru yang ingin melihat muridnya malam itu sedang belajar apa tidak.
Pak AR, guru IPA saya sejak di bangku SMP dulu, adalah seorang duda.
Dan ketika di bangku SLTA ada salah satu kembang (baca: Melati) yang
sedang mekar menyemerbakkan kecantikannya, tak perlu memakai teori
Newton atau Archimides untuk mendekatinya. Kedekatan yang diharap
lebih dari sekadar hubungan antara guru-murid.
Tetapi, entah dapat ide darimana, si
Melati mampu meyakinkan orang tuanya bahwa ia telah punya pacar.
Namanya Edi Winarno!
Maka, ketika pak AR mengutarakan maksud
kedatangannya, dengan sopan ortu Melati meminta maaf. Bahwa, sebagai
orang tua, sungguh jaman sekarang perkara jodoh telah berlaku hukum
'kebo nyusu gudel'. Artinya, apa kata yang akan nglakoni. Apa kata
anak. Dan, masih ortu Melati yang bicara, “Melati sudah bilang ke
saya. Kalau ia sudah punya pacar. Teman sekelas katanya.”
Bercerita begitu, Melati tak sempat
menggambarkan bagaimana rona wajah pak AR. Malah, saya perhatikan
ronanya, Melati menyuguhkan wajah lega dihadapan saya. Tetapi, “Kita
pacaran sampai lulus saja ya. Asal aku bisa menghidar dari pak AR.”
Ada memang saya dengar istilah kawin
kontrak. Tetapi kalau pacaran kontrak? Hanya berlangsung sesuai
kesepakatan waktu. Dan itu hanya tak lebih dari setahun. Hanya sampai
lulus. Lalu, seandainya dalam masa kontrak itu tumbuh kesungguhan
bagaimana? Nah.
Tetapi jangan bayangkan pacaran
(kontrak) saya itu sedemikian mesranya. Tidak. Lagian pacaran
(sungguhan) jaman itu, jangankan pegang tangan, lihat pintu rumahnya
saja sudah lega.
Tetapi kasus saya ini beda. Saya
'pacaran' hanya ketika disekolah saja. Agar pak AR yakin bahwa benar
si Melati telah punya si Edi. Tak lebih dari itu. Kalaulah harus ada
yang dilebihkan, adalah saya lebih sering ditraktir. Ini jelas,
karena yang butuh adalah dia. Hehehe...
Menjalani sandiwara yang mengasyikkan
itu, waktu setahun terasa cuma sebentar. Dan ketika malam perpisahan
setelah kelulusan tiba, disaat teman-teman lain saling termehek-mehek satu
sama lain karena segera meninggalkan masa SLTA yang indah, saya lihat
si Melati tersenyum manis sekali. Lebih manis dari senyum yang dalam
setahun ini begitu saya akrabi. Sorot matanya berbinar.
Dalam film-film remaja, tentu adegan
selanjutnya adalah saling berangkulan. Tetapi tentu kami tahu diri,
bahwa hal itu tak mungkin kami lakukan. Dan, dengan intonasi kata yang
saya tahu berbalut kesungguhan, Melati berucap,” Terima kasih, Ed.
Terima kasih atas kebaikanmu selama ini. Dan sesuai janjiku, kita
sejak saat ini harus putus.”
Saya lihat mata bening Melati. Saya
lihat dalam-dalam. Dan baru berakhir ketika ia menyodorkan spidol.
Beberapa saat saya diam. Sebelum meraih ujung jilbabnya, dan kemudian menorehkan tanda tangan di sudutnya.*****
saya juga kang punya pacar kontrak....hahaahha
BalasHapusTernyata sangat sulit memiliki pengalaman yang tidak dialami oleh orang lain. Hahaha....
HapusTerima kasih sampeyan sudah mampir ke kedai sederhana saya ini, Kang Mizwar.