Laman

Minggu, 12 Mei 2024

Empat Hari Empat Malam di Kampung Youtuber, Bondowoso


Salam komando pejuang HPmiring
bersama Mas Imam Januar. 

JAM
18.00 saya sampai di pintu keluar bagian dalam terminal Purabaya yang sedang direnovasi. Ditambah sekian tahun tidak pernah ke Bungurasih, tentu saya agak pangling juga sih. Begitulah waktu dan segala di sekitarnya. Suka berubah dan/atau diubah. Eh iya dhing. Bukan waktunya. Tetapi hal-hal lain yang karena dimakan waktu jadi dipandang harus diubah jadi begini atau begitu. 

Jam 18.10 Luna Maya membawa saya keluar dari terminal Bungurasih. Luna Maya? Iya. Memangnya kenapa? Selain Om Kucrit dan Mbah Kakung, Luna Maya adalah keluarga PO Ladju yang bertrayek Surabaya-Ambulu. 

Beginilah nasib orang yang mukim di jalur selatan. Pilihan bis yang lewat Kencong tak sebanyak yang lewat Tanggul. Maka tidak heran, si Luna Maya yang saya naiki ini sudah penuh sejak dari dalam terminal. Taruhlah dapat tambahan poin di pintu keluar, anggap saja itu bonus. 

"Saya turun Yosowilangun 50, kalau sampeyan turun Bagorejo, ya paling 55 ribu", jawab seorang penumpang yang duduk di samping saya. 

Sekian lama tidak mudik naik bis membuat saya tidak tahu tarifnya. 

" Ladju tarifnya normal, tak pernah ngentol seperti Sabar Indah", lanjut bapak setengah baya yang berprofesi sebagai sopir truk ini. Beliau asal Kenjeran Surabaya, tetapi istrinya orang Yosowilangun. Seminggu sekali pulang. Ohya, ngentol yang dibilang tadi itu artinya menarik ongkos melebihi lazimnya. 

Si Luna Maya, karena penumpang full, berjalan kencang. Langsung tol panjang. Turun Leces. Lanjut bablas, tidak masuk terminal Bayuangga, Probolinggo. 

Tidak banyak yang bisa saya catat setelah itu karena saya tertidur. Baru nglilir saat bapak di dekat saya itu pamit mau turun. Oh, sudah nyampai Yosowilangun ternyata. 

Lepas itu saya paksa mata saya melek. Kalau ketiduran lagi, bisa kebablasan nanti. Sebentar lagi Kencong, lalu Gumukmas, lalu Bagorejo. 

"Jalan Tembok? ", tanya kondektur. 

" Bukan", jawab saya. "Bago ban, setelah balai desa", saya menerangkan ancar-ancar lokasi saya akan turun nanti. 

Bago ban adalah istilah lazim yang dipakai untuk tempat turun penumpang. Ban adalah nama lain dari rel kereta lori yang kini sudah tidak terpakai lagi. Rel itu terbentang panjang sampai PG Semboro sana. 

Dan jam sepuluh malam saya turun dari si Luna Maya. Tentu saja didahului ucapan, "Awas, kaki kiri dulu! ", dari kondektur. Itu semacam SOP. 

Saya berterima kasih kepadanya. Empat jam bersama Luna Maya saya beralhamdulillah karena semuanya lancar terkendali. 

Menginap semalam di Bagorejo, selepas Dhuhur saya dijemput Mas Didik pakai mobilnya. Lanjut bablas ke Bondowoso. 

Mas Didik ini baru juga kali ini sua darat setelah sebelumnya hanya berhola-halo via percakapan WA. Di wasap ia selalu memanggil saya dengan sebutan Mas. Sebuah sebutan yang langsung diralat saat jumpa darat. Dari Mas menjadi Om. Tentu saya maklum terhadap perubahan panggilan yang berdasarkan faktor U yang terpaut lumayan jauh itu. Dipanggil Om saya oke-oke saja, asal tidak dipanggil tante saja. Hehe... 

Setelah mampir sholat Asyar di Arjasa, jelang maghrib kami tiba di desa Posong, Kecamatan Tapen, Bondowoso. Telah banyak teman yang hadir. Dari Lampung, Bandung, dari Jawa Tengah, Kalimantan, Yogyakarta juga Jakarta. Dari Surabaya ada saya dan satu lagi teman yang asal Madura. Yang dekat ada juga yang dari Maesan (Bondowoso) dan 'kontingen' Jember diwakili Mas Didik yang kelahiran Grenden tapi sekarang tinggal di Mojomulyo, satu lagi Mas Shofa, priyantun santun yang bukan perajin sofa namun adalah pemilik usaha bibit bunga dan buah asal Umbulsari. Dari Sidoarjo dan Malang juga ada. Total jenderal ada sekitar 37 orang, kelas angkatan saya itu. 

Mampir sholat Asyar
di masjid Al Ikhlas
Arjasa. 

Kami semua langsung klik disitu. Karena mungkin sudah satu frekuensi. Sholat berjamaah, makan bareng dan belajar bareng. Terlebih mas Imam Januar selaku shohibul bait baiknya bukan main. Juga keluarga beliau. Semua well come. Semua baik. Empat hari empat malam bersama-sama membuat kami sudah seperti keluarga. 


Suasana kelas yang lesehan bikin
belajar makin gayeng dan akrab. 


Bahkan, walau secara normal kelas dimulai dari jam 9.00 pagi sampai jam 17.00, selepas Isyak kami masih diladeni diskusi dan sharing (termasuk tentu saja kami digelontor ilmu YouTube sampai kepala ngebul) sampai sekuat mata melek. Sampai subuh pun diladeni. Heran saya sama mas Imam Januar ini. Staminanya luar biasa. Kuat. Sekuat beliau dalam merokok. Pokoknya saya syalut (pakai syin). 

Empat hari empat malam kami ditempa. Digerojok ilmu yang bikin kami wow. Pokoknya semangat. Bikin semangat berlebih. Walau, di angkatan itu saya terbilang secara usia paling matang (sebagai kata lain dari tua☺) saya mesti bisa agak ngimbangi yang muda-muda. Walau untuk melek sampai tengah malam mata ini sudah ampun-ampun. Walau untuk ngerti istilah dan tolls pendukung dalam bermain YouTube otak saya rasanya sudah keponthal-ponthal. Maklum gaptek. 

Kamis adalah hari terakhir. Gelas saya yang tadi kosong (dan memang anjuran mas Imam harus dikosongkan) kini isinya tumpah-tumpah. Pendek kata, dari yang saat datang bingung cari ide konten, kini jadi bingung karena kebanyakan ide konten. 

Di teras ini kami lanjutkan
menimba ilmu dari Mas Imam

Setelah sholat maghrib berjamaah diimani mas Imam, lanjut makan malam lalu cekrak-cekrek berfoto, saatnya saya pulang. Besok, sesuai izin yang diberikan atasan, saya mesti sudah masuk kerja. Kenapa tidak bareng mas Didik lagi? 

Beberapa teman ada yang pulang besok atau Sabtu lusa sesuai jadwal kereta atau bus, yang lain rupanya masih kerasan tinggal lebih lama di kampung yang banyak sekali melahirkan YouTuber ini, sembari ngalap barokah ilmu ke Mas Imam. Yang pulang belakangan termasuk mas Didik itu. 

Inilah Tapen. Untuk pulang ke Surabaya --setelah saya tanya-tanya, di jam malam begini ternyata lebih gampang nyari bis ke terminal Situbondo daripada di terminal Bondowoso.

"Kalau di terminal Situbondo selalu ada bis. Kalau di terminal Bondowoso, jam segini sudah ndak ada", kata tukang ojek yang rumahnya di seberang jalan gang atau ruko tempat kami belajar. Ohya, sebagai yang termasuk daerah tapal kuda, orang Bondowoso itu secara sehari hari bahasa yang digunakan adalah bahasa Madura. Yang tentu saja saat bicara bahasa Indonesia pun logatnya tetap Madura banget. 

Jam baru menunjuk angka delapan malam. Tetapi dingin udara sudah nyaris menembus tulang. Padahal saya sudah jaketan. Walau tidak helm-an. Padahal si bapak tukang ojek melajukan motor Beat-nya hampir 80 km/jam! Edan. Mau nanyain helm wong dia sendiri cuma mengenakan songkok hitam. Sebagai penyerasi, sepertinya. Karena untuk bawahan ia juga cuma sarungan. 

Saya selalu waspada, juga was-was. Kecepatan motor segitu dengan tanpa pelindung diri yang mumpuni, sudah lebih dari cukup untuk membuat segera sampai IGD kalau terjadi apa-apa di jalan. 

"Semoga sampiyan sukses dan berhasil", katanya sambil terus ngebut. " Yang penting konsisten. Insya Allah berhasil ".

Terus dia cerita anaknya, adiknya dan beberapa nama orang Tapen yang berhasil. Tentu saja saya dengarkan ceritanya. Saya aminkan doanya. Dan alhamdulillah saya tiba di terminal Situbondo dengan selamat. Beliau menyebut angka sebidak ebuh untuk ongkosnya. Dan saya bayar lebih bukan untuk nasihat dan doanya. Tetapi sebagai bentuk lain dari sebuah ucapan terima kasih. 

Benar saja. Tak lama saya menunggu, bis Akas jurusan Sumenep masuk terminal. Parkir sebentar, lalu berangkat. Membawa saya dan sedikit penumpang tujuan Madura. Bisnya nyaman. Kursinya empuk, AC-nya dingin. Walau musik koplo yang diputar pada layar LED monitor dengan sound ngebas itu menurut saya kurang pas diputar malam-malam begini. Saat mungkin para penumpang, termasuk saya, lebih suka suasana hening. Agar bisa istirahat. 

Toh demikian, tak lama setelah bis keluar terminal, keluar pula kesadaran saya. Pulas. Sepulas-pulasnya. Semacam balas dendam dari empat hari empat malam kurang tidur saat di tempa(t) mas Imam. 

Sekian jam sepanjang perjalanan saya tertidur. Hanya sesekali membuka mata dengan berat saat bis berhenti ambil penumpang. Lalu tidur lagi. Tau-tau... 

"Bungur, Bungur. Surabaya tidak parkir. Langsung Madura..."

Elhadalah, maunya saya tadi turun di luar terminal. Di depan Ramayana. Tempat banyak tukang ojek menunggu penumpang. Karena ketiduran, saya katut bablas sampai masuk terminal Purabaya. 

Sempoyongan turun dari bis, saya lihat layar HP. Jam satu malam. ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar