Laman

Minggu, 25 Juli 2021

Dari Positif ke Negatif

DUA konten video terbaru saya di YouTube perihal pengalaman saya PCR dan hasilnya, sementara saya 'kunci' dulu. Saya setting hanya bisa saya tonton sendiri. Bukan apa-apa. Persepsi orang tentang Covid ini kan macam-macam. Ada yang tingkat 'keparnoannya' berlebihan, ada yang wajar, sampai ada yang masa bodo.

Menghindari penyikapan yang keliru, saya pikir, lebih baik konten itu saya 'amankan' dulu. Nantilah kalau situasi sudah 'aman terkendali' konten itu akan saya publish. Kalau saat ini dan dilihat tetangga atau orang dekat yang pemahamannya tentang covid ini masih kurang semestinya, tentu bisa menimbulkan hal yang tak perlu. Bisa-bisa saya dijadikan bahan --seperti judul lagunya Elvie Sukaesih-- bisik-bisik tetangga, misalnya.😊

Tidak usah diasingkan, selama menunggu hasil PCR tempo hari itu, saya sudah mengucilkan diri sendiri (baca: isoman). Secara suka rela. Lagian, siapa sih yang mau ketempelan si covid ini. Terlebih, tentu saya sangat tidak ingin orang terdekat saya ikut kepapar dan sumber paparan itu dari saya. 

Saya isi waktu selama isoman itu dengan hal-hal yang positif. Yang tadinya saya ini gak bernah berolahraga, kini menjadi lumayan rajin lari pagi: 30 menit sampai satu jam.

Hari itu tiba juga. Saat mana saya menerima hasil test PCR. Hasilnya? Po-si-tif.

Sejenak saya terdiam. Saya merasa sehat, saya tidak demam, tidak batuk. Pendek kata, saya tidak mengalami gejala covid sebagaimana sering kita dengar itu. Tapi: saya positif. Ada angka 34.19 di lembar hasil PCR yang file-nya dikirim via wasap dalam format PDF itu.

Saya awam angka apa itu. Ah, saya harus sinau, harus belajar. Mencari pada situs atau akun yang kredibel. Bukan pada pesan berantai yang berseliweran di WAG, yang kadang kurang jelas rujukan dan juntrungannya.

Ketemu. Dari beberapa yang saya baca dan tonton, angka pada hasil tes saya itu disebut CT value. Saya terjemahkan secara bebas menjadi angka ambang siklus. Yang kalau thrashold-nya 40, angka saya itu relatif aman. Sudah mendekati 40. Virus covid yang terdeteksi sudah minim. Atau malah cuma bangkai dan protolannya saja. Karena, kit atau alat PCR tak bisa membedakan virus itu masih hidup atau sudah mati, masih utuh atau tinggal protolan, sedikit atau banyak. Asal ada, akan terbaca positif.

Baiklah. Dari baca-baca itu, saya menemukan titik terang, sekaligus menambah titik tenang. Biarlah saya positif. Tapi kan saya tidak sakit. Mungkin ini yang dibilang orang sebagai OTG (Orang tanpa Gejala).

Info yang saya baca dari berbagai sumber, termasuk dari CDC (Centers for Disease Control and Prevention/Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit) Amerika, yang menyatakan bahwa: untuk orang tanpa gejala --seperti saya--, cukup isolasi mandiri selama sepuluh hari. Setelah itu, kalau tidak ada keluhan dan sehat-sehat saja, sudah bisa bebas merdeka. Tidak perlu dites PCR lagi. Yang biayanya mahal itu. Yang bahkan bisa buat beli lebih dari 60 butir 'telur palsu' cap KinderJoy yang harganya mehong (pakai banget) dan jahatnya: diletakkan di dekat kasir. Yang mengakibatkan, kalau belanja sama si kecil, imannya suka tergoda dan langsung nyomot tiga!😇

Tapi di setiap perusahaan aturannya kan berbeda. Yang sering sih pihak perusahaan masih memakai acuan hasil tes swab PCR. Entah itu menganut peraturan darimana. Atau itu semacam ke-lebay-an yang berbaju kehati-hatian. Yang mengharuskan hasil negatif dari swab PCR dulu, baru boleh masuk kerja lagi. Tidak peduli bagi yang berstatus OTG, dan sudah lebih dari sepuluh hari mengisolasi diri, serta sehat-sehat saja.

Berjarak sepuluh hari dari tes yang menyatakan saya positif itu, kemarin saya swab PCR lagi. Hasilnya dua hari lagi baru keluar. Saya menunggu dengan santuy. Kenapa? Saya tidak sakit kok. Juga, tempo hari, di tempat kerjanya, hasil swab tes istri saya juga baik. Saya jadikan itu semacam indikator di keluarga kami, kami sehat-sehat saja. Semoga demikian senantiasa.

Menu sarapan: madu, telur rebus, buah dan,
agar pikiran selalu segar, bacaannya pun
kudu menyegarkan.

Selama menunggu itu, tentu dengan prokes ketat, seperti halnya sejak saya dinyatakan positif itu, saya tetap lari pagi, tetap minum vitamin C dan mengonsumsi asupan protein. Syukurlah dapat bagian daging kurban. Bisa menjadi sumber protein hewani yang penuh berkah, dan gratis belaka. 

Satu ritual tambahan yang rutin saya lakukan: cuci hidung dan tenggorokan memakai air garam krosok. Garam non yodium itu saya beli di kios penjual perlengkapan jenazah di daerah Bratang. Lima ribu rupiah dapat satu plastik ukuran setengah kilogram. Alat tambahan lainnya adalah botol kecap yang saya beli di toko gerabah seharga tiga ribu rupiah.


 
Cuci hidung yang awalnya
saya duga akan tak nyaman,
ternyata tidak.

Cara itu saya dapat dari YouTube. Ah, hal apa sih  yang tidak bisa didapat dari YouTube sekarang ini. Nyaris semuanya. Dari urusan dapur sampai urusan kasur pun ada. Komplet.

Adalah Pakde Indro. Yang seorang ahli virus, seorang virolog. Dengan bahasa yang gampang saya pahami sebagai orang awam. Beliau menyebut hal itu sebagai protokol rakyat. Untuk membersihkan virus yang nempel di hidung, atau tenggorokan. Yang belum masuk. Belum menginfeksi organ dalam. Yang disebut masih dalam tahap terpapar.

Ya, persepsi saya, saya ini baru terpapar. Makanya tidak ada gejala. Saya lakukan kemu dan korah-korah hidung ala Pakde Indro itu tanpa ragu, karena saya pikir ini risikonya juga minim. Pakai air garam krosok dengan takaran satu sendok garam, dicampur satu liter air mineral. Sehari tiga kali saya melakukan ritual ini.

Bahkan, saat saya akan swab PCR kemarin itu, saya bawa botol kecil. Walau di rumah sudah melakukan, di sudut parkiran saya kumur air garam lagi.


Tibalah saatnya. Waktu itu saya sedang santai di kamar lantai atas rumah saya. (Sudah sekitar duapuluh hari saya 'bersemadi' disini. Dihitung dari hari sejak teman kerja saya diketahui dari tes PCR bahwa sedang positif kopit disertai gejala, sebagai kontak erat saya harus menjalani isoman). Saat tiduran di kamar isolasi ini --sembari liyer-liyer keasyikan mendengarkan lagu campursari di radio, saya mendapat WA dari klinik tempat saya tes swab PCR. Dengan mengucap basmalah saya buka. Hasilnya? Negatif! *****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar