KADANG-KADANG
ulah penjaja mainan anak-anak bikin jengkel juga. Dengan
bunyi-bunyian, biasanya tit-tot,
tit-tot, ia datang
dimana anak anak-anak berkerumun di situ. Mainan yang dibawanya bisa
macam-macam; mobil-mobilan, boneka, senapan-senapanan, robot-robotan
dan sebagainya. Sementara, yang namanya anak-anak, sekali pun sudah
punya yang sejenis itu, masih juga ingin punya lagi. Dilarang beli,
tapi ia punya senjata andalan; menangis. Di situasi macam itu, si
penjaja mainan malah tak jua pergi. Petaka datang kala harga di-mark
up sedemikian rupa
karena si kecil belum juga diam dari menangisnya.
Dua
Minggu yang lalu seorang pedagang lewat di depan rumah. Walau gang di
depan rumah saya ini buntu, tetapi kala itu sedang ada banyak anak
sebaya si kecil saya. Penjaja itu tak perlu membunyikan apa pun untuk
menarik minat calon pembeli, karena dagangan yang ia bawa sudah bisa
bersuara sendiri. Kali itu bukan burung, tetapi anakan ayam yang
bulunya disumba
warna-warni. Dan sebagaimana temannya yang lain, si bungsu saya
ikutan merengek minta dibelikan.
Tak
terlalu mahal, limaribu rupiah seekor. Tetapi masalahnya adalah,
mainan itu punya nyawa. Ya, bukan harga makanan sumber problemnya.
Namun tabiatnya yang suka buang hajat di sembarang tempat itu sungguh
ter-la-lu,
kata Bang Rhoma. Sementara kandang yang berupa bekas jebakan tikus
itu sudah semakin sempit bagi tubuhnya yang beranjak besar, sehingga
terus mengandangkannya sungguhlah termasuk melanggar hak asazi ayam.
Diapakan
enaknya? Dibuang sayang, disembelih masih kekecilan.*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar