KANTOR capem bank ini mempunyai
tiga teller. Satu khusus BG dan sejenisnya, yang dua untuk transaksi
tunai. Untuk non tunai cenderung sepi, tetapi tidak demikian dengan
yang tunai. Antrean mengekor lumayan panjang. Tetapi saya lihat
teller 2 lebih pendek ekornya ketimbang teller 3. Kesitulah saya
bergabung. Berdiri persis dibelakang lelaki seusia saya dengan sandal
jepit dan jaket kumal. Ia menyandang tas yang tak kalah kumalnya.
Setelah beberapa menit, saya sudah
berada di urutan ketiga. Si teller sedang melayani seorang wanita
muda yang wajah dan penampilannya membikin ruang yang sudah sejuk ini
menjadi makin sejuk. Ramah sekali sang teller melayaninya. Dan, dari
nada bicaranya, sepertinya mereka memang sudah saling kenal. Sambil
menghitung setoran tunainya yang lumayan banyak, mereka terus saja
tertawa-tawa. Begitulah, wanita kalau sudah akrab, selalu saja bikin
ramai.
Akhirnya selesai sudah. Beberapa bendel
uang seratus ribuan dan lima puluh ribuan masuk ke laci teller. Harum
parfumnya semerbak ketika wanita cantik itu beringsut keluar dari
antrean dan berjalan aduhai disamping saya. Sekarang si lelaki kumal
itu maju ketampil.
Tetap dengan ramah sang teller
menyambut. Senyum dan salam meluncur standard front liner.
Hebat betul para teller itu. Tak peduli berpenampilan bagaimana, si
nasabah selalu mendapat sambutan ramah.
Lelaki kusut itu menyodorkan selembar
slip transaksi. Dari warnanya saya tahu, ia akan setor tunai. Kertas
itu sewarna dengan yang sedang saya pegang. Pada nominal yang saya
tulis, tertera angka tiga ratus ribu rupiah. Bagi saya, itu angka
yang lumayan tinggi sebagai nilai tabungan per bulan.
Saya melirik jam dinding. Menurut
perkiraan, tak lebih dari sepuluh menit lagi pasti transaksi saya
sudah selesai. Dan segera kembali ke tempat kerja. Karena, masih
menurut dugaan saya, paling-paling lelaki kumal itu juga akan setor
sekitar nominal saya.
Saya sudah merogoh saku dan
mengeluarkan enam lembar uang lima puluh ribuan ketika lelaki kumal
itu juga mengeluarkan isi ransel bututnya. Isinya? Bikin dompet saya semaput!
Saya mendengus pelan. Melirik antrean
di teller 3 yang masih mengular. Lirikan berikutnya, jam dinding yang
menjadi sasaran. Alamat terlambat balik kantor, nih, batin saya.
Pasalnya, isi perut tas kumal itu uang
berjejal-jejal. Penuh. Jauh diatas nilai uang yang saya genggam
sampai keringetan ini. Dan, uang lelaki itu terdiri dari aneka
nominal. Bisa dibayangkan, butuh waktu lama si teller untuk
'membereskannya'.
Tak perlu mencari tahu itu uang sendiri atau hanya disuruh majikannya, hari itu, dikantor capem bank itu, saya
benar-benar membuktikan kebenaran dari sebuah pepatah. Jangan menilai
buku hanya dari sampulnya.
Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar