“MBARUS, nak. Ayo
mbarus sini,” begitu seorang paman menyambut kedatangan
saya ketika suatu sore saya bertandang kerumahnya..
Mbarus? Saya tak tahu apa
artinya. Tapi melihat nadanya, itu sebagai kata mempersilakan.
Tepatnya, mempersilakan saya masuk. Pinarak, menurut kosa kata
saya.
Begitulah, ketika sejak tinggal di
rumah mertua di desa Mayong Karangbinangun, Lamongan, dua belas tahun
lalu, ada banyak kata yang harus saya cari padanan maknanya. Karena,
penyebutan sesuatu sungguh beda jauh dengan bahasa yang saya pakai di
Jember sana.
Contohnya; di Mayong sini, orang
menyebut menyok untuk ketela pohon. Saya menamainya 'telo'.
Cak Tris, teman saya yang asal Banyuwangi, menyebutnya 'sawi'.
Padahal di Malang, kalau tidak salah, 'telo' berarti ubi jalar. Nah,
di Lamongan, ubi jalar itu disebut 'bolet'. Dan bapak saya bilang,
'saBBrang' untuk makhluk yang sama. Tentu dengan intonasi yang
sedemikian rupa karena memang diucap dalam bahasa Madura.
“Ketela pohon kok sawi. Lha
kalau sayur sawi dibilang apa dong?” tanya saya suatu kali.
“Sawen,” jawab cak Tris.
Beda nama satu benda tentu tidak
berhenti sampai disitu. Sayur bulat besar panjang warna putih agak
kuning kehijauan, ibu saya bilang itu blonceng. Istri saya
mengenalnya sebagai 'kenthi' dan teman lain menyebutnya waluh
putih. Baginya, blonceng adalah yang bukan itu, tetapi
yang sering orang pakai sebagai bahan manisan. Buah bulat besar ,
dengan batang menjalar itu, saya tahu adalah 'bligo'.
Contoh lain, kalau mau direntang
akanlah sangat panjang. Cak Paiman, teman saya yang asal desa
Sukolilo, Prigen, Pasuruan, selalu serempetan kalau akan ke
masjid atau yasinan. Serempetan motor? Oh, tentu tidak. Karena,
saya juga sering begitu bila melakukan hal yang sama. Tetapi untuk hal yang sama saya
mengistilahkan 'bebetan'.
Ya, sampeyan betul; bagi cak Paiman, serempetan
itu adalah sebutan untuk orang yang memakai sarung.*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar