“KANG, boleh aku minta waktu
sampeyan sebentar saja,” pinta mas Bendo.
“Walah, ketempelan setan
darimana kamu kok menjadi sedemikian sopan kepadaku?” sembur kang
Karib.
“Aku akan membaca puisi, kang,” mas
Bendo menjelaskan.
“Puisi?” tanya itu dilempar kang
Karib disertai tawa berderai.
“Orang mau baca puisi kok diketawai,
sampeyan ini piye to, kang?”
Mak cep. Kang Karib berhenti
tertawa. Ia melihat ada kesungguhan disorot mata mas Bendo. Ia
menjadi tidak tega mnelantarkan sebentuk kejujuran yang dijulurkan
raut wajah sahabatnya ini.
“Maaf, nDo,” kata kang Karib
kemudian. “Kamu akan baca puisi tentang apa?”
Masih dengan raut wajah dan sorot mata
yang sama, mas Bendo menjawab, “Celurit.”
“Celurit?!”
Mas Bendo mengangguk. “Ini tentang
benda tajam, kang. Jangan main-main tentang celurit. Bisa kualat.”
Wih, edan tenan. Sore yang redup
oleh mendung, mendadak bergairah oleh ucapan mas Bendo barusan.
Celurit bisa bikin kualat?
“Itu, si Bripto Eko Ristanto
buktinya. Ia terlalu berani main-main dengan celurit. Akibatnya, ia
malah dijerat pasal 338 KUHP.”
Wih. Ketempelan roh halus
darimana ini, kok si Bendo ngomong pakai bawa-bawa pasal KUHP
segala, batin kang Karib.
“Kita haruis berani berteriak, kang,”
sambung mas Bendo kemudian. “Kita harus berani berteriak akan
segala yang tidak benar. Ini demi HAM. Ini demi keadilan dan
kemanusiaan.”
Sampai kalimat itu, kang Karib paham.
Mas Bendo sedang mengoceh tentang kematian ustad Solikin, guru ngaji
asal desa Sepande, Candi, Sidoarjo. Yang mula-mula terlibat
laka-lantas; menyerempet Briptu Widianto pada Jumat dini ahri lalu
(28 Oktober 2011). Karena kalut, sang ustad malah tidak berhenti. Dan
dikejar oleh teman-teman Briptu Widianto. Mereka adalah Briptu Eko,
Aiptu Agus, Bripka Dominggus, Briptu Iwan, dan Briptu Siswanto.
Dalam pengejaran itu terjadilah
penembakan itu. Selain melakukan tembakan peringatan keatas dan ke
arah mobil ustad Solikin, juga si Briptu Eko mengarahkan pistolnya ke
arah tubuh sang ustad. Akibatnya fatal. Si ustad meninggal.
“Coba, gak ada yang
teriak-teriak, dan keterangan Briptu Eko bahwa ustad Solikin melawan
pakai celurit ditelan mentah-mentah, pasti kasus ini tenggelam
ditelan bumi kan, kang?”
“Jaman sudah beda ya, nDo.” sahut
kang Karib.
“Betul, kang. Beda dengan jaman
ketika kasus si Udin. Wartawan yang dibunuh di Bantul beberapa tahun
lalu,” jawab mas Bendo.
“Tentang celurit yang bikin kualat
itu bagaimana?” kang Karib mengingatkan.
“Lha itu. Mana ada ustad pergi
antar-jemput buruh pabrik bawa senjata tajam begitu. Padahal si
Solikin itu, selain ustad, merangkap jabatan hanya sebagi penjual
tempe. Walau pertamanya, pihak Polres Sidoarjo mengatakan Solikin
melawan pakai celurit, belakangan terbukti itu hanya akal-akalan si
Briptu Eko saja. Dan, celurit itu terbukti malah punya Briptu Eko
sendiri.”
“Letak kualatnya dimana, nDo?”
“Kalau pertamanya ia hanya dijerat
pakai pasal 339 tentang kelalaian yang mengakibatkan meninggalnya
ustad Solikin, gara-gara kebohongannya terungkap, ia kecemplung ke
pasal 338 tentang pembunuhan. Bukankah itu kualat, kang?”
“Kita tunggu saja proses hukum
selanjutnya, nDo.”
“Tidak hanya menunggu, kang. Kita
harus pelototi. Harus digelar transparan dan seadil-adilnya.” masih
dengan menggebu mas Bendo menimpali.
“Iya, begitu maksudku. Tetapi,
ngomong terus, kapan kamu baca puisinya?”
“Iya. Sampai lupa,” mas Bendo
nyengir. Lalu berdehem-dehem melemaskan tenggorokannya.
'Serius amat. Memangnya kamu mau baca
puisinya siapa?” tanya kang Karib.
“D. Zamawi Imron.”
Oh, itu penyair yang berjuluk si
Celurit Emas. Kang Karib menduga, mas Bendo akan membaca puisi
berjudul sama; Celurit Emas. Tetapi,
“Meditasi Celurit, karya D.
Zamawi Imron...” suara mas Bendo merobek selembar sore yang dingin.
Kang Karib diam ketika mas Bendo mulai
khusuk membaca puisi. Kang Karib keliru, ternyata mas Bendo tidak
membaca Celurit Emas, tetapi Meditasi Celurit.
Memang pahit, guru. Rasa pohonan itu
Buah benih-benih yang dulu kutanam
sambil berlayar
Pada ubun-ubun gelombang
Lewat isyarat senja
yang bercermin pada telaga
Kubur hanya tempat
Bukan kiblat
Guru!
Gigir celurit harus kupanjat
Agar kucicipi puncak pahitmu
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar