Sabtu, 23 Mei 2015

Lomba Menghitung Ban Mobil

SELAIN grup tentang persatelitan, salah satu grup yang saya ikuti di jejaring sosial adalah sebuah grup yang mengkhususkan diri mengungkap hal-ihwal yang terjadi di era 80-90an. Lagu-lagunya, filmnya, artisnya, mainannya, julukan masa kecil sampai jajanan yang dibeli saat sekolah di jaman behuela itu. Sering, sebuah cerita tentang mainan yang digemari seorang anak di pelosok Blitar, misalnya, kala itu ngetren pula di ujung Banyuwangi. Tetapi, jangan membayangkan mainan jaman itu seperti yang digemari anak sekarang yang lebih banyak buatan pabrik.

Mainan jaman dulu, ibarat kata, dari apapun jadi. Kulit jeruk bisa dibuat mobil-mobilan, daun nangka bisa dirangkai menjadi penutup kepala sebagai mahkota raja, atau biji buah asam yang dilekatkan pada keramik dibawa kemana-mana lalu diadu kekuatan lekatnya. Oh, jangan dikira pakai lem untuk proses pelekatan, tetapi hanya (maaf) pakai air liur, atau cairan bekicot atau putih telur. Setelah biji asam (tentu yang dipilih yang sudah tua) digosok pada ubin semen hampir separuh, dan disaat masih panas akibat gesekan, dilekatkan pada sebilah keramik bekas atau kaca yang sudah ditetesi air liur. Ih, nggilani ya?

Pendeknya, anak-anak jaman dulu bisa dengan mudahnya mendapatkan kesenangan bersama. Bukan seperti anak-anak sekarang yang menjadi manja dan kurang bersosialisasi justru oleh 'mainan'. Gadget, tentu ada sisi baiknya. Tetapi kalau dilihat, karenanya, anak-anak menjadi lebih senang sendiri, asyik dengan dirinya sendiri. Pada saat dimana gadget sudah menjadi (seakan) kebutuhan, bukan melulu bagi anak-anak, banyak orang tua yang justru lebih banyak menghabiskan waktu bersama 'anak kandung teknologi' ini ketimbang anak kandung sendiri.

Mainan jaman dulu banyak yang dilakukan secara bersama sehingga karenanya secara otomatis mengajari anak untuk lebih memiliki sifat kebersamaan. Main kelereng, dakon adalah dua misal diantara banyak mainan anak yang kini di desa pun sudah makin jarang anak-anak memainkan, sebagaimana mungkin sudah tidak ada lagi anak yang membuat mahkota dari rangkaian daun nangka. Plastik adalah bahan yang mendoninasi bahan mainan (dan saat tulisan ini saya buat, malah beras pun ada yang berbahan plastik).

Masa kecil saya habiskan di Bagorejo dan Mlokorejo. Desa yang tak terlampau pelosok karena terdapat disitu jalan raya Jember-Surabaya via Kencong. Walau saat itu tentu tak seramai sekarang, paling tidak, mobil dan bis bisa kami temui saban hari. Yang juga saya ingat, saban malam Jumat sekira jam dua dini hari, selalu terdengar lenguh suara sapi yang berbaris dituntun orang suruhan blantik (pedagang sapi) untuk menuju pasar Menampu. Entah mengapa para penjual sapi jaman itu senang mengajak dagangannya gerak jalan berpuluh kilometer menuju pasar dan bukan mengangkut sapi-sapi itu menggunakan truk seperti saat ini.

Saat sore hari sehabis mandi sebelum berangkat mengaji, kami duduk di tepi jalan raya mencari kesenangan. Kami membagi teman menjadi dua kelompok. Ya, kami menjadi lawan main dalam menghitung mobil. Untuk menentukan kelompok mana memilih arah mana, kami melakukan suit dulu. Nah, jadilah.

Bayangkan, saking tak sebanyak sekarang, bahkan mobil pun bisa dijadikan 'mainan'. Bukan hanya banyak-banyakkan mobil dari arah timur (Ambulu/Jember), atau dari arah barat (Surabaya/Lumajang), kadang kami bersepakat menjadikan rodanya sebagai bahan permainan. Semakin banyak jumlah roda mobil/truk yang terhitung sampai menjelang maghrib, menanglah yang memiliki jumlah itu. Jadi, kalau ada truk gandeng dari arah 'milik kita' terlihat dari timur, misalnya, sudah sangat giranglah hati karena rodanya banyak. Lebih-lebih kalau truk gandeng itu mengangkut ban mobil, wah, menang KO-lah kita.*****


Minggu, 17 Mei 2015

Menambah LNB Parabola

KEGEMBIRAAN akan diterapkannya siaran televisi digital terrestrial di Indonesia ternyata tak berlangsung lama. Disaat masyarakat antusias menyambutnya, dikala pabrikan set top box mulai menggenjot produksi, ketika pemenang lelang MUX mulai membangun insfrastruktur dan juga bersiaran, eh program siaran televisi digital malah terganjal. Iya sih, masih ada satu-dua yang mengudara (dengan power pemancar yang tak seberapa), tetapi secara jumlah tak jua bertambah, justru berkurang malah.

Kalau demikian kenyataannya, apakah masih menggantung harapan besar kepada terwujudnya program itu? Ada yang bilang, apa sih kita ini yang tidak ketinggalan? Negara lain sudah melangkah jauh dan tak sudi lagi menggunakan kanal analog untuk televisi, kita masih saja tak bisa ke 'lain hati'. Padahal (katanya) teknologi digital adalah hal yang niscaya, sementara dengan kemajuan teknologi (data) yang maju pesat, membutuhkan bandwicht yang berlipat. (sementara si analog boros sekali karena satu frekuensi hanya bisa diisi satu. Sedang pada kanal digital: satu frekuensi bisa muat belasan!) Kalau tak mau 'ketinggalan kereta' dengan jarak yang teramat jauh, televisi digitallah solusinya.
Before.

Sudahlah, bicara tentang televisi digital free to air (FTA), kalau dipikir-pikir, orang kota kalah dengan orang pedalaman yang tak terjangkau pemancar televisi analog terrestrial. Orang pasang jamur (baca: antena parabola) di kampung sudah menjamur. Siaran televisi bebas kepyur alias tak bersemut adalah hal lumrah. Sementara orang kota dengan pesawat televisi sudah HD, siaran yang ditangkap masih berteknologi analog. Ada sih siaran dengan konten HD, tetapi itu milik pay tv. Dan kita tidak sedang membicarakan itu.

Dengan siaran televisi digital terrestrial yang memang sudah tak pernah nambah kontennya, kita (sebagai pemirsa) sudah tak punya cara lain untuk menambahi sendiri. Berbeda sama sekali dengan siaran digital yang diterima dari satelit. Siaran di satelit Palapa-D saja sudah hampir seratus channel, dan kalau ingin nambah siaran kita tinggal menambah LNB. Masih kurang juga? Tambah LNB lagi.
After.

Sejak memasang parabola sendiri, sekarang yang terpasang pada 'jamur' saya ada tiga LNB (Palapa-D, Telkom-1 dan Asiasat7). Berapa channel yang tertangkap? Bagi pengguna antena parabola tentu sudah tahu: ratusanlah jumlahnya.

Kalaulah saya hari ini iseng-iseng mengawinkan dua scalar ring LNB twin (satu milik Matrix, satunya lagi bawaan Venus) agar menjadi satu scalar ring untuk 4 LNB, tentu supaya saya bisa menangkap channel yang terpancar dari satelit Asiasat-5, yang ujung-ujungnya tentu total channel makin bejibun. (Ada yang bilang nanti bakal repot masangnya pada dish saya yang cuma berukuran 6 feet dengan hanya tiga tiang fokus, sementara dengan scalar ring modifikasi ini, mau tak mau harus menggunakan empat tiang fokus. Kesulitan, lalu gagal, lalu mencoba lagi, gagal lagi sampai menemukan cara yang lain untuk berhasil; itulah tantangannya. Haha, ngeyel ya ?)
Selanjutnya; sepertinya saya mesti menambah
tiang fokus nih...

Mengapa saya melakukan itu, adakah channel favorit yang menjadi tayangan wajib tonton? Olahragakah, filmkah, musikkah? Jujur: tidak. Saya hanya senang tracking dan kurang senang nonton. Kalaulah nonton, paling-paling cuma tombal-tombol remote control, pindah-pindah channel, tahu-tahu mengantuk dan, tidur.

Paling-paling anak-anak ditemani ibunya yang kalau sore nonton Sopo Jarwo atau Naruto. Dengan gambar yang bening bin cling begitu, tentu mononton televisi menjadi nyaman. Saya sih jadwal nontonnya kebagian malam. Tetapi ya itu tadi; nontonnya tidak khusyuk. Paling-paling malah tangan gatal lalu blind scan koleksi satelit, siapa tahu ada transponder baru yang nyangkut.

Satu lagi keinginan, sebagaimana lazimnya tracker anyaran, masih merasa belum lulus sebelum bisa lock menembus satelit Optus. Hehe... *****



Kamis, 14 Mei 2015

Surga Bagiku Gak Penting !

KALIMAT yang saya jadikan judul tulisan ini saya dapati dari punggung seorang pemuda yang menyalip motor saya saat pulang kerja tadi sore. Tulisan itu berwarna hitam dengan warna dasar kaos merah. Ya, dengan ukuran huruf yang besar, kalimat itu bisa dibaca oleh orang rabun sekalipun.

Mungkin kalimat itu hanya olok-olok sebagaimana sering kita jumpai pada kaos Jogger, atau Dagadu atau yang lainnya. Kalau tulisan Tahanan Nusakambangan sih sudah sering saya dapati dikenakan oleh orang yang saya yakin tak sekecilpun punya keinginan menghuni lapas itu. Namun, apakah 'Surga Bagiku Gak Penting' itu juga begitu?

Saya tak mengejar si penyalip itu untuk menanyakan alasannya mengenakan kaos bertuliskan begitu. Bisa jadi ia adalah berandalan yang tak pernah makan sudut surau atau sama sekali tak pernah mengendus kitab suci. Begitukah? Atau ia malah sedang mengajari saya untuk tidak manja melakukan apa-apa hanya demi pahala yang dalam kepala saya hal itu saya anggap sebagai tiket masuk surga. Bahwa, ia mengajari saya untuk melakukan apapun tanpa dasar apa-apa (dalam arti kata) : ikhlas.

Artinya, dengan demikian, surga menjadi 'tidak penting'. Nah, tentu saja jangan tantang saya untuk ndalil yang ndakik-ndakik. Pengetahuan saya ini hanya gratul-gratul karena otak yang yang relatif tumpul. Atau begini saja, kapan-kapan, kalau ketemu orang yang mengenakan kaos bertuliskan yang demikian itu, sebaiknya saya berhentikan dan saya tanyai apa alasannya kemana-mana mengenakan kaos itu. Kalau ada waktu, Sampeyan boleh menemani saya menginterogasinya. *****

NB: artikel ini saya posting menggunakan ponsel jadul Nokia C3.
 

Njajal Ngeblog Pakai Nokia C3

INI, untuk pertama kali saya mencoba posting tulisan pakai ponsel jadul Nokia C3. Dengan tombol huruf yang relatif kecil (dibanding jempol saya yang montok) membuat saya agak gratul-gratul dalam menulis. Itu pertama. Yang kedua, sampai sekarang saya tidak tahu bagaimana cara membuat paragraf. Bagi yang sudah lihai posting tulisan di blog pakai HP, kasih tahu dong saya.... :D

Oh, syukurlah, akhirnya bisa juga bikin paragraf baru. Yakni dengan menekan tombol shift + enter di keypad sisi kanan. Hahaha, gaptek ya saya. *****

Kamis, 07 Mei 2015

Dua Jam + Enam Bulan di Samsat Manyar

Silakan KLIK disini: Samsat Surabaya Timur di Manyar Kertoarjo (Foto: Dok. Pribadi)
UNTUK membayar pajak kendaraan bermotor, sekarang ini, mudah sekali. Cukup datang ke Samsat Corner di mal-mal, jadilah. Atau membayar lewat Samsat Drive Thru dengan tanpa turun dari kendaraan. Cepat sekali. Dan kalau masih ada orang yang menggunakan jasa calo untuk hal yang sangat mudah sekali itu, sungguh patut dipertanyakan alasannya.

Tetapi, untuk membayar pajak kendaraan lima tahuhan (ganti plat nomor) yang harus datang langsung ke kantor Samsat apakah semudah dan secepat membayar pajak tahunan di Samsat Corner di mal?

Loket Cek Fisik.(Foto: Dok. Pribadi)
Berbekal bayangan masih ribetnya birokrasi di kantor Samsat, banyak sekali orang langsung menyerahkan urusan itu melalui tangan calo. Nah, sebenarnya seberapa sulitkah mengurus sendiri pajak lima tahunan itu di Samsat dan butuh waktu berapa lama?

Kemarin (5 Mei 2015) saya meneguhkan diri mengurus sendiri hal itu di kantor Samsat. Karena domisili saya di Surabaya Timur, saya termasuk daerah kerja Samsat Manyar. (Kendaraan saya ini masih atas nama tetangga, karena ketika beli dulu saya belum masuk sebagai 'warga negara' Surabaya. Nah untuk itu saya menyiapkan Surat Kuasa yang saya ketik sendiri lengkap dengan materai senilai 6000 rupiah).

Lewat jalan Ir. Soekarno (MERR) dari rumah sampai ke kantor Samsat di jalan Manyar Kertoarjo hanya memakan waktu seperempat jam. Saya lihat jam dinding di ruang petugas administrasi Cek Fisik masih menunjuk angka 8.12 WIB. Dan pelayanan Samsat sudah mulai ramai.

Esek-esek nomor mesin dan nomor rangka kendaraan. (Foto: Dok. Pribadi)
Dari pintu gerbang, saya langsung membawa kendaraan ke area cek fisik. Bertanya kepada petugas berseragam krem/kekuningan, saya diarahkan ke loket 1 untuk mengambil formulir cek fisik dulu. Selembar kertas itu telah ada semacam kertas sticker untuk menggesek nomor rangka dan nomor mesin kendaraan. Petugas cek fisik menggesek dengan cekatan. Benar, pada kaca loket tertulis 'cek fisik gratis', tetapi saya lihat nyaris semua orang memberi tip lima atau sepuluh ribu rupiah ke petugas cek fisik. Kalau dikalikan, dengan sebegitu banyak kendaraan yang cek fisk saban hari, tentu sangatlah besar uang tip yang diterima petugas berseragam biru itu. (Saya tak tertarik untuk mereka-reka; uang itu 'dimakan' sendiri atau dibagi rata ke petugas/bagian lain demi sama rasa-sama rata...)

Setelah cek fisik, kendaraan dianjurkan dipindah ke tempat parkir di seberang jalan. Dan di dekat kantin tak jauh dari tempat parkir itu, kita bisa memfoto kopi berkas yang kita pegang, termasuk BPKB dan STNK lama. Tak usah bilang ini-itu, petugas foto kopi sudah paham betul berapa lembar kopi yang dibutuhkan untuk tujuan yang dimaksud. Plus-nya lagi, petugas foto kopi tanpa diminta akan menata dan menstaples berkas-berkas itu pada map. Biayanya? Lima ribu rupiah saja.

Ruang tunggu lapang dan dingin. (Foto: Dok. Pribadi)
Dari situ saya kembali ke loket cek fisik untuk mendapatkan stempel legalisir petugas cek fisik. Lalu diarahkan ke loket 1 untuk diperiksa. Setelah itu, disilakan masuk ke ruang dalam menuju loket 6; berkas yang sudah ditata tukang foto kopi dirapikan lagi. Berikutnya disarankan menuju loket nomor 23. Antri sebentar, dipanggil petugas loket 25; membayar pajak kendaraan. Duduk lagi di ruang tunggu yang luas dan berpendingin. Tak lama kemudian petugas loket 27 memanggil untuk membayar biaya STNK dan plat nomor baru; nilainya delapan puluh ribu rupiah. Oleh petugas loket 27 saya diarahkan untuk antri di depan loket 28.

Pada tanda loket 28 ini tertulis sebagai loket penyerahan STNK dan plat nomor polisi baru. Ini loket terakhir sebelum urusan di Samsat ini beres, pikir saya. Sambil menunggu, saya mengedarkan pandang. Penilaian saya, fasilitas di Samsat Manyar ini termasuk bagus. Ada ruang tunggu dan loket khusus lansia, ada pula ruang khusus ibu menyusui. Karena saya merasa belum lanjut usia maka saya menunggu di ruang dengan kursi yang tak empuk dibanding sofa di ruang tunggu lansia itu. Termasuk saya tidak duduk di ruang ibu menyusui karena saya bukan ibu-ibu. Hehe....
Ruang tunggu Lansia. (Foto: Dok. Pribadi)

Sepuluh menit menunggu di depan loket 28, baru nama saya dipanggil. “Ini tanda terimanya,” kata petugas.

Plat nomor dan STNK-nya?” tanya saya.

Ambil kesini enam bulan lagi,” jawab petugas laki-laki dengan nada ketus tidak, ramah juga tidak. Sampai-sampai ia tidak mengucap maaf untuk hal yang rentang waktunya sangat lama itu. Mungkin ia berlaku begitu karena telah ada kalimat permintaan maaf pada banner di sudut depan meja loket 28 tentang pemberitahuan dimaksud.

Saya pulang dari kantor Samsat dengan hanya mengantongi bukti pembayaran pajak kendaraan dan tanda terima pembayaran STNK plat nomor yang jadinya masih setelah lebarah haji nanti itu.

Nah, kalau dihitung, dari sejak saya datang tadi, sampai selesai ini, memakan waktu tak lebih dari dua jam dengan perincian semua tahapan saya urus sendiri sesuai prosedur yang terbilang lancar jaya.

Untuk membayar pajak tahunan, lebih enak disini saja. (Foto: Dok. Pribadi)
Pada spanduk di halaman depan memang tertera kalimat untuk tidak mengurus melalui calo. Keluar dari kantor Samsat, saya mencari-cari, masih adakah calo yang bergentayangan di sekitar Samsat ini? Saya menduga beberapa orang yang duduk-duduk di pinggir jalan itu adalah tersangkanya. Paling tidak, “Ngurus perpanjangan ya, Pak?” seseorang yang kemudian mengaku bernama Sakip, usianya sekitar 35 tahun, berkaos oblong putih yang telah tidak putih lagi, yang sedari tadi duduk di depan musholla bertanya kepada saya. “Lewat saya saja, Pak. Satu jam selesai, dua puluh ribu saja,” katanya berpromosi.

Walau saya sudah bilang telah selesai mengurus sendiri, masih saja ia memberi nomor ponselnya agar, “Kalau lain kali mengurus, atau ada tetangga Bapak yang butuh, bisa langsung menghubungi saya, Pak. Saya tiap hari disini kok,” ujarnya.

Oh, ternyata ini salah satu calonya. Biaya jasanya duapuluh ribu saja (dengan janji) satu jam selesai. Atau, kita memilih menangani sendiri urusan di Samsat ini dengan memakan waktu dua jam selesai?  *****

Klik disini: pengalaman mengambil STNK, plat nomor dan BPKB  ke Samsat Manyar.