Minggu, 24 Maret 2013

Yang Penting Hitam-Putih


BEBERAPA teman maya saya, lewat percakapan online, pernah meminta Pin BB saya. Sebuah permintaan yang tentu tidak akan pernah disampaikan oleh teman-teman nyata, yang sering bergaul secara face to face dengan saya. Ya, saya tidak memiliki BlackBerry! 

Beberapa teman saya yang lain, pernah mengirimi saya gambar atau foto-foto lewat ponsel. Celakanya, pesan-pesan macam itu, muncul sebagai tulisan ‘tidak bisa menampilkan pesan’ di LCD ponsel saya. Ya, bahkan ponsel saya bukanlah ponsel yang berkamera!

Pager, si penerima pesan.
Tidak usah kaget, untuk urusan gadget,  saya ini termasuk selalu ketinggalan. Bahkan, kalau tidak salah ingat, saya adalah orang terakhir di tempat kerja yang menyerahkan pager sebagai alat komunikasi. Teman-teman saya yang lain sudah bawa HP, membuat pager saya lebih sering menganggur. Sebagai alat komunikasi yang hanya bisa menerima pesan tanpa bisa membalas, dominasi si pager langsung tumbang begitu ponsel datang.

Kondisi itu membuat saya nekat membeli ponsel. Tidak baru, barang itu saya beli dari seorang teman dalam keadaan bekas. Harganya 350 ribu, sebuah ponsel warna abu-abu dengan antena ‘mecungul’ di atasnya. Mereknya Motorolla. Saya yang dalam bekerja sering petakilan naik-turun tangga atau scafolding, dengan ponsel saya taruh di saku celana, membuat antenanya rompal, perotol.  Urusan antena bukan perkara genting, sekalipun si antena itu berbulan-bulan saya balut isolasi, yang penting si ponsel tetap berfungsi. Namun nasib si Motorolla berakhir tragis kala ia terjun bebas dari saku baju kala saya naik scaffolding dan mendarat dengan telak di permukaan lantai marmer. Pyarrrr... ia langsung ambyar. Tewas dengan ngenas.

Sebagai gantinya, barang bekas juga, saya membeli Siemens C-35. Dengan tubuh lebih jangkung ketimbang si mendiang Motorolla saya, ia berwarna hitam dengan postur agak melengkung. Kesamaannya, selain sama-sama berantena, nada dering keduanya juga sama-sama belum poliklinik polyphonic. Saya lupa bagaimana akhir si Siemens ini di tangan saya, yang jelas kemudian saya agak kapok membeli ponsel bekas.

Siemens C35.
Ponsel pertama yang saya beli langsung dalam kondisi baru di toko adalah Nokia 2100. Harganya saya ingat, kala itu saya membeli di Akar Daya jalan Mayjen Sungkono dengan nilai 875 ribu rupiah. (Bandingkan coba, sekarang ini harga segitu sudah dapat ponsel lokal buatan China dengan segudang fitur di dalamnya. Ada kameranya, televisinya, radionya, MP3nya, Wifi-nya dsb, dst. Cuma kulkas atau kompor gas saja yang tidak ada di dalamnya. Hehe...). 

oOo

Sudah hampir tujuh tahun terakhir ini ‘senjata’ yang selalu saya bawa kemana-mana adalah si Nokia N1110i. Riwayat hidupnya, setelah saya menekan *#0000#, ia dilahirkan pada tanggal 24 Oktober 2006. Seminggu terakhir ini, ia makin sakit-sakitan. Setelah beberapa bulan ia pikun (penunjuk waktunya sering berubah, walau dalam sehari tiga-empat kali saya cocokkan dengan jam dinding di kantor), seminggu ini makin kronis saja komplikasinya. Kalau ditelepon bisa nyambung tetapi selalu putus di tengah jalan. Atau sering terjadi, tidak ada hujan tidak ada angin, di layarnya tiba-tiba muncul perintah, “Masukkan SIM.” (Wah, jangan-jangan ponsel saya ini jenis ponsel lalu-lintas?! Kenapa tidak sekalian minta STNK juga.)

Untuk mengaktifkan lagi, biasanya, saya cukup mematikan sebentar, lalu saya on-kan lagi. Tetapi kalau tidak bisa hidup normal juga, saya mesti mencopot baterai dan SIM card-nya sebentar, lalu setelah meniupnya beberapa kali (seperti dukun sedang menyemburkan suwuk) kemudian saya pasang lagi. Benar-benar agak bikin jengkel. Seperti halnya kesabaran, kejengkelan pun ada batasnya. Solusinya cuma satu; ganti ponsel baru!

Ya, mempensiunkan si biru N1110i itu adalah sebuah tindakan yang tepat. Setelah sekian tahun mengabdi, dengan torehan catatan waktu yang lumayan (mengirim SMS sejumlah 8062, menerima pesan 17006 biji, menerima panggilan total 35 jam 33 menit 57 detik, melakukan panggilan keluar total 77 jam 56 menit 11 detik), tentu ia akan tidak nelangsa dipurnatugaskan sekarang ini.

Lalu, apa yang pantas mengantikannya sebagai teman hidup saya? BlackBerry, Samsung Galaxi atau Nokia Lumia?

Entahlah, saya belum ingin yang macam itu. Sekalipun, kalau dipaksakan, soal harga bisa saja saya usahakan. Lewat cara kredit, misalnya. Tetapi semua gadget berjenis smartphone itu, belum saya anggap sebagai kebutuhan hidup saya. Bahkan untuk hadir sebagai sebuah keinginan, muntup-muntup di benak pun tidak. Entahlah. Atau memang saya ini termasuk orang yang katrok. Biar, biarlah. 

Jujur, saya sedang menunggu hadirnya Nokia 105 yang konon baterainya sanggup bertahan hidup (untuk pemakainan normal) selama 35 hari. Tetapi, ketika saya hubungi sebuah gerai ponsel besar di Surabaya, ternyata barang itu belum masuk ke Indonesia. Yang sudah ready stock adalah Nokia 103.

Dengan kisaran harga dua ratus ribu sesuai anggaran yang saya siapkan, sebenarnya saya bisa mendapatkan barang merek lain dengan aneka fitur telah dibenamkan di tubuhnya. Misalnya Cross V-5. Ponsel China yang kalau diamati sukses melewati Nexian yang sebelumnya tampil dominan ini sudah;
- Dual On Simcard
- Camera Digital
- MP3/MP4/3GP
- FM Radio,video
- Bluetooth, Calculator, Alarm
- Lampu Center
- Web Browssing.

Senjata baru saya, Nokia 103.
Atau, kalau tidak mau HP merek lokal buatan China, masih ada pilihan keluaran pabrikan asal Korea;  Samsung. Dengan kisaran harga lebih rendah sekitar sepuluh ribu rupiah, ia (sesuai kebiasaan saya) hanyalah memiliki fungsi ponsel yang sangat azasi; asal bisa untuk SMS dan telepon saja. Ohya, masih ada satu bonusnya; radio FM. Tetapi, dibanding si Nokia 103, ‘kekurangan’ Cross V-5 dan Samsung E1205 ini adalah, mereka sudah berlayar warna. Padahal saya ingin yang masih hitam-putih. Jadi, keputusan saya, penerus tongkat estafet si  N1110i saya itu adalah si Nokia 103! Sekalipun masih hitam-putih, ia telah dilengkapi radio FM. Tetapi, sepertinya fasilitas radio itu akan jarang saya pakai. Dibanding dengan lampu senternya, misalnya. *****

Sabtu, 23 Maret 2013

Ranjau Kacau Balau

SEBAGAIMANA anak-anak, ketika kecil --bersama teman-teman seumuran-- saya juga pernah 'pecicilan'. Waktu itu desa saya belum ada jaringan listrik. Sehingga, sehabis isya' saja, suasana sudah gelap gulita.

Dalam gelap gulita itu, entah siapa pencetusnya, kami mempunyai rencana cemerlang!

Di sudut depan pekarangan rumah Mbah Muk, tidak jauh dari pantat gedung SD kami, ada pohon bunga kenanga yang tinggi menjulang. Bentuk tubuhnya yang demikian, dengan aroma wangi kenanga yang begitu, ketika malam ia digosipkan menjadi tempat bangsa halus. Padahal, letaknya yang di pinggir jalan –termasuk sebuah gang masuk ke kampung-- selalu saja dilewati orang.

Ide cemerlang yang saya bilang tadi adalah ini; siang-siang, kami memanjat pohon itu untuk meletakkan segala macam kaleng rombeng yang kami hubungkan dengan seutas tali hasil pilinan sendiri berbahan lulup (serat) kulit pohon waru. Tali itu sungguhlah panjang; dari dahan tempat kaleng rombeng digantungkan sampai terulur jauh ke sebuah tempat yang terlindung. Dari tempat itulah malamnya kami menarik-narik tali agar kaleng-kaleng itu berbunyi supaya mengejutkan orang-orang yang berjalan sepulang menonton ludruk di lapangan.

Bisa dibayangkan, orang-orang yang sudah berdiri bulu kuduknya setiap berjalan di dekat pohon kenanga yang dikabarkan angker itu, dengan efek suara kaleng yang mengejutkan, menjadikan meraka lari pontang-panting ketakutan. Di tempat persembunyian, kami tertawa cekikikan kegirangan.

Karena orang-orang pulang nonton ludruk pada tengah malam, biasanya sambil menunggunya, kami melakukan tindakan 'pemanasan' setelah Isya'. Yakni menakut-nakuti teman-teman perempuan sepulang mengaji. Mereka itu beberapa masih saya ingat namanya. Ada Imroatul Hasanah, ada Miftahul Jannah tetapi yang lainya saya lupa. Biasa, perempuan dengan 'nilai' biasa-biasa saja akan lebih sering terhapus dari ingatan. Hehe... sadis ya?

Tidak hanya akan mengejutkan dengan aneka bebunyian, kami juga meletakkan sebuah bangku panjang -- yang kalau siang sebagai tempat Mbah Serin berjualan di belakang sekolah. Kami meletakkan bangku itu secara melintang di tengah gang menuju rumah Pak Kasto pegawai BKKBN yang merangkap jabatan sebagai penjual getuk lindri. Kalau berjualan beliau selalu memutar lagu-lagu Rhoma Irama lewat speaker Toa warna abu-abu. Pak Kasto itu ayah Miftahul Jannah dan Imroatul Hasanah.

Konspirasi jahat ini sungguhlah akan menyakitkan. Bagaimana tidak, mereka yang terkejut dan lari ketakutan, akan menabrak bangku yang melintang di tengah jalan. Menunggu momen itu, kami berdebar membayangkan adegan yang pasti akan kami tertawai secara gembira.

Teman-teman nakal saya itu masih saya ingat mereka. Ada Gito anak Lik Tumirin, juga ada Budiono anak Lik Sahar.

Rupanya Pak Malik yang mengajar mengaji Miftahul Jannah dkk itu sedang memberikan pelajaran tambahan. Waktu Isya' sudah sedari tadi lewat, mereka belum juga pulang. Padahal biasanya beberapa saat setelah azdan isya' berkumandang, setelah sholat berjamaah meraka sudah pada lewat gang ini.

Seperti halnya memancing, menunggu korban jebakan pun butuh kesabaran. Sambil menunggu, kami harus menahan gigitan nyamuk di tempat persembunyian.

Beberapa saat lewat, dari arah selatan, kami mendegar suara kriet-kriet, derit sepeda angin yang rantainya jarang diminyaki. Celaka! Orang itu, pengendara sepeda angin itu, akan melewati ranjau kami. Lebih celaka lagi, orang itu, yang bersepeda dalam gelap itu, adalah Lik Tumirin, ayah Gito.

Gubrakkkk!!!!

Terdengar suara sepeda menabrak bangku. Kami lunglai, tak ada nafsu untuk tertawa. Kami semua pucat, terlebih lagi wajah Gito.

Kacau, kacau....*****

Sabtu, 16 Maret 2013

Memberangus Tikus

TIKUS yang menyelinap ke rumah saya ini, saya kira, adalah keturunaan tikus yang pernah menjadi penghuni sebuah apotek. Binatang pengerat yang nggragas itu, di apatek itu, menyikat apa saja yang diendusnya. Sampah sisa makanan apoteker, atau bahkan kala tengah malam ia menggasak beberapa obat yang tersimpan di gudang. Mulai puyer obat cacingan sampai sirup sachetan penolak masuk angin. Dari suplemen vitamin biasa, sampai yang mengandung gincobiloba. Untuk jenis yang terakhir itu, sepertinya, mampu membuat otak hewan nggilani ini menjadi semakin cerdas saja.

Tentang kecerdasan si micky ini, saya telah membuktikannya sendiri. Mula-mula, dengan memasang penjepret yang mematikan, dalam semalam saya bisa membunuh dua-tiga ekor. Malam berikutnya ia lebih waspada; sama sekali tak mau mendekati perangkap itu. Selezat apa pun umpan yang saya pasang, tak sedikitpun ia tertarik. Okelah, saya harus ganti strategi. Saya memakai alat yang lebih berpereketikusan. Sebuah alat penjebak yang tidak mematikan. Tetapi begitu  si siti tikus masuk, tak mungkinlah ia bisa keluar.

Sukses. Beberapa hari saya bisa menangkapnya hidup-hidup, untuk kemudian saya rendam di sungai juga dengan hidup-hidup, tetapi sampai mampus! Hari berikutnya alat itu menjadi tak berfungsi. Si tikus tak sudi lagi terperangkap. Tidak ada jalan lain, saya harus mencari cara lain; pakai lem.

Keampuhan lem ini, Sampeyan tahu, langsung bisa dilihat pada kemasannya. Pesan yag saya tangkap sungguh gamblang; jangankan seekor tikus, gajah saja langsung lengket bila menginjaknya. Kesuksesannya dalam menjerat tikus telah saya duga, semenduga saya akan kegagalan di hari berikutnya yang tikus tak mau lagi menyentuhya.

Begitulah, saya kira tikus telah mempunyai tingkat kecerdasan sedemikian rupa. Ia sadar sepenuhnya kalau dirinya bukanlah keledai. Hanya keledai yang layak jatuh terperangkap pada lubang yang sama berkali-kali, tikus tidak.

Ini hanya tikus betulan, bukan 'tikus' jadi-jadian yang populasinya tak juga musnah di habitat bernama Indonesia. 'Tikus-tikus' itu, sejak tingkatan rendah sampai di lingkaran pusat kekuasaan pun ada. Dengan ukuran otak yang jauh lebih besar dari tikus sesungguhnya, 'tikus' jadi-jadian itu tentu lebih tinggi tingkat kecerdasannya. Lebih punya banyak cara untuk menghindar dan mementahkan segala macam praduga. Walau sejatinya, secara kasat mata berdasar kesaksian para koleganya yang lebih dulu tertangkap (beberapa secara basah), ia juga punya andil besar dalam menggerogoti uang negara.

Memberangus tikus memang bukan hal mudah. Lebih tidak mudahnya lagi, dalam beberapa kasus, 'tikus-tikus' itu punya hubungan 'spesial' dengan lembaga 'kucing' yang punya kewenangan memberangusnya.

Dalam kehidupan tikus sesungguhnya, sering saya dapati kucing sama sekali tidak ditakuti oleh tikus-tikus got yang gemuk ginuk-ginuk. Saya lihat, mereka sama-sama saling tidak menghiraukan. Mencari kenyaman hidup sendiri-sendiri.

Memusnahkan tikus dengan cara diracun, akan melahirkan kerepotan susulan. Kematian tikus di sembarang tempat, seringkali tersembunyi, bangkai itu menguarkan 'kesedapan' tingkat tinggi yang bisa menguras seisi perut. Sementara 'memusnahkan' tikus jadi-jadian dengan hukuman mati setelah segala tuduhan terbukti, belum-belum sudah menimbulkan kegaduhan; melanggar HAM.

Sambil terus saban hari tiada habisnya disuguhi kabar sepak terjang 'tikus' dalam menggerogoti kekayaan negeri, kalau sudah terpaksa, saya juga akan mengambil langkah terakhir. Memasang umpan beracun untuk memberangus tikus di rumah saya. Dan ini, tidak ada yang meributkan sebagai tindakan yang melanggar HAT . Hanya saja, saya harus siap-siap pura-pura tidak tahu-menahu bila salah satu tikus itu mati di rumah tetangga dan berhasil menjadi bangkai dengan aroma sempurna.

Saya sadar, keberadaan tikus di rumah saya dikarenakan kurangnya saya menjaga kebersihan tempat tinggal. Untuk kasus serupa, sepertinya, populasi 'tikus' yang tetap lestari di negeri ini, karena –diakui atau tidak--, kita juga kurang menjaga 'kebersihan'. *****

Jumat, 15 Maret 2013

Menangkal Pencuri Sandal

BEDUG adalah sesuatu yang lazim ditemui di masjid. Kalau untuk surau, di kampung tempat kakek saya dulu, ada terpasang kentongan yang terbuat dari pangkal bambu ori. Tidak hanya bentuknya yang 'bengkong' kayak terong, bunyinya pun unik. Ia, bedug atau kentongan itu, dipukul dalam ketukan yang ada pakemnya. Tetapi untuk nada, tentu saja tiada mengalahkan alat musik betulan. Pendek kata, baik bedug maupun kentongan itu, saya curigai tidak ada do re mi fa sol la si do-nya.

Untuk hal ini, saya pernah mendengar sebuah guyonan (kalau tidak salah ini juga pernah 'ditampilkan' oleh Gus Dur); mengapa masjid tidak ada piano atau gitarnya. Dan malah tetap mempertahankan alat yang terkesan ketinggalan zaman. Jawaban atas pertanyaan itu adalah sesuatu yang masuk akal. Yakni; Jangankan diberi gitar atau piano, lha wong sandal saja hilang kok!

Tentang kehilangan sandal di masjid ini, beberapa Jumat yang lalu dialami anak saya. Ia, yang mendapati sandalnya hilang, tidak lalu seenaknya memakai sandal entah milik secara ngawur sebagai gantinya. Tetapi dengan sabar menunggu sampai semua orang di masjid pulang. Dan, pas. Tiada tersisa sepasang sandal pun. Tidak ada pilihan lain, dia harus pulang dengan nyeker saja.

Sungguh, hal ini pun dulu pernah saya alami. Sandal jepit merek Swallow warna hijau yang tak begitu baru raib saat saya menuju tempat ia tadinya saya 'parkir'. Sama seperti anak saya, tiada gantinya. Maling sandal itu rupanya memang sengaja berangkat dari rumah tanpa memakai alas kaki. Atau memakai tetapi telah siap sebuah wadah untuk menampung sandal hasil operasinya.

Sekarang di beberapa masjid telah disiapkan tempat penitipan sandal atau sepatu. Ini akan bisa menambah rasa aman bagi para jamaah. Sekaligus akan menambah rasa khusyu'. Pikiran yang tidak tenang akan barang yang diparkir di halaman (bisa hanya sandal, atau malah motor), akan membuat seseorang ketika menoleh di salam ke dua, ia akan menoleh ke kiri sampai jauh ke halaman.

Dulu, untuk menyiasati agar sandal tidak hilang, biasanya saya akan menaruh sepasang sandal secara terpisah. Sisi kiri di bagian sudut kanan undakan, sisi kanan saya taruh di sudut kiri serambi, di dekat tempat wudlu. Aman. Sesuai pengalaman saya, itu sangat aman. Karena si pencuri pasti tidak akan mengambil sandal hanya sisi sebelah saja. Sebetapun baru dan agak mahalnya sandal itu. Kecuali kalau ia tahu pasangannya yang saya taruh berjarak lebih dari sepuluh meter dari situ.

Menerapkan cara itu akan menimbulkan pemandangan agak aneh sih. Kalau saya lagi berdua dengan seorang teman akan lebih mudah lagi. Saat masuk gerbang masjid, kami menukar satu sisi antar sandal kami. Sisi kirinya saya tukar dengan sisi kiri punya saya. Tetapi tetap, ia masuk dari serambi kiri, saya masuk dari pintu depan. Saat pulang, kami jodohkan lagi sandal itu sesuai pasangannya.

Praktikkan, lalu perhatikan apa yang terjadi.*****

Senin, 11 Maret 2013

N u n u t a n



TENTANG nunut-menunut, seingat saya, itu sudah saya awali sejak saya boleh tidak tidur di rumah. Ya, sekitar kelas empat SD saya sudah diizinkan ikutan tidur di surau. Dan lumrahlah sudah, anak-anak yang tidur di surau tidaklah pernah tidur agak awal. Ada saja yang dilakukannya sampai tengah malam. Ngropok kedelai, misalnya. Yaitu membakar kedelai milik pemilik surau yang sedang dalam proses pengeringan di halaman. Kedelai yang masih menempel di batang dan daunnya dengan keadaan setengah kering itu, tinggal dicarikan blarak (daun kelapa kering) yang disulut api, jadilah daun kedelai itu ikutan terbakar demi mematangkan biji kedelai yang kemudian lepas dari cangkangnya.

Bila sudah dianggap matang, dipukulilah bara itu. Tindakan itu sebagai mematikan api sekaligus membuat kedelai yang masih berada dalam cangkangnya menjadi terlepas. Dan, untuk memakannya, kita harus meniupnya dulu agar debu sisa pembakaran menyingkir, barulah kita pungut sebiji demi sebiji lalu kita masukkan mulut. Snack macam itu, selain terasa gurih-gurih pahit (karena debunya ikutan ketelan sih), efek lanjutannya adalah aroma yang ruarr biasa bila sudah menjadi kentut!

Tak perlulah saya memperlebar cerita dengan kisah pencurian buah yang sering kami lakukan malam-malam. Saya hanya ingin fokus pada hal nunut saja. Baiklah. Begini; malam sehabis mengaji, biasanya kami menuju lapangan desa yang di sebelah baratnya berdiri gedung kesenian. Di situ itu, saban malam ada pertunjukan. Sebulan ludruk, bulan berikutnya wayang orang, berikutnya lagi ketoprak. Kalau gedung itu lagi kosong tiada pertunjukan, masih ada pilihan. Di sebelah timurnya, pada bak’an (halaman yang dipelester semen tempat biasa sebagai lahan pengeringan gabah) milik penggilingan padi, kalau malam di situ diputar film misbar.

Semua pertunjukan itu dikarciskan. Sekalipun kami menamakan gedung, ia hanyalah berdinding anyaman bambu dan beratap langit. (Lain halnya dengan gedung kesenian, ia agak terbilang mewah; berbangku kayu dan beratap daduk, anyaman yang dibuat dari daun tebu kering. Penjaga karcisnya selalu didampingi Hansip. Dan kami, walau masih anak-anak, tiada boleh masuk kalau tidak punya karcis. 

Banyak jalan menuju Roma. Setiap ada orang membeli karcis dan sendiri, saat ia menuju pintu masuk, selalu langsung kami gandeng tangannya, “Nunut, Lik.” (Numpang masuk, Om) atau “Nunut, Bik.” (Numpang masuk, Tante.) dengan berlagak sok akrab seperti keponakannya.

Beres. Karena sebagai anak kecil, kami boleh numpang masuk kepada orang dewasa.

oOo

Menginjak SMP, tradisi nunut itu saya teruskan saat berangkat atau pulang sekolah. Mulai truk atau pick up bak terbuka, sampai pengendara motor yang sendirian, adalah sasaran untuk di-nunuti. Walau ongkos naik taksi (maaf, di kampung kami, angkutan pedesaan pun kami namakan taksi) hanya lima puluh rupiah, dengan nunut saya bisa menggunakan uang sejumlah itu untuk beli jajan. Karena, tiada pernah saya disangoni selain untuk naik taksi yang seratus rupiah untuk PP. Mudah ditebak, ini adalah akibat dari banyak anak kurang rezeki!

Dua puluh dua tahun yang lalu, pergi ke Surabaya ini pun saya menggunakan jasa pernunutan. Yaitu numpang truk muat batu kapur dari Grenden, sebuah desa penghasil gamping yang berjarak lima kilometer dari desa saya, yang kebetulan sopirnya adalah tetangga saya.

Nah, untuk ‘balas dendam’ oleh nunut- menunut yang saya lakoni di daerah asal saya di wilayah Jember sana itu, setelah saya punya motor, saya ingin membuat tindakan ‘pembalasan’. Misalnya, ketika dulu saya sering berangkat kerja dari rumah mertua menempuh 'trayek' Lamongan-Surabaya PP, pagi-pagi setiap berangkat, saya selalu mencari ‘penumpang’ yang mau saya beri nunutan. Bisa nenek-nenek yang berangkat ke pasar Blawi, atau pelajar yang menuju sebuah sekolah di Glagah. Kalau lagi lewat Dukun, saya sering dapat ‘penumpang’ tujuan Bungah.

Benar, untuk tujuan-tujuan itu telah ada angkutan pedesaan. Tetapi jarak antara satu kendaraan dan kendaraan berikutnya lama sekali. Dan, lumrahnya, kalau penumpangnya lagi sepi, laju angkudes itu  hanya lebih cepat sedikit ketimbang bekicot.

Memberi nunutan begitu, tidak semua yang saya tawari selalu mau. Biasanya, ibu-ibu muda yang menenteng tas hendak ke pasar, akan menolak sekalipun jasa yang saya tawarkan ini tidak memungut biaya. Mungkin takut akan saya bawa kabur. Pelajar cewek berseragam putih abu-abu pun ada yang berlaku begitu. Padahal hidung saya kan tidak belang!

Tetapi ada perkecualian. Pagi itu, seorang ibu bersama anak perempuan berseragam SMA mengenakan rok landung dan jilbab putih mencegat saya, “Mau ke mana, Nak?” tanya ibunya.

“Surabaya,” saya menjawab setelah membuka kaca helm.

“Oh, kebetulan. Anak saya ini hari ini ujian. Mencegat angkutan dari tadi tidak ada yang lewat. Nunut sampai Bungah boleh kan?”

Tentu saya dengan bungah, senang hati, memberinya tumpangan.

Lain hari, masih pagi-pagi juga, seorang anak laki-laki melambaikan tangan saat saya masih sekitar lima puluh meter sebelum tempatnya berdiri di pinggir jalan, di bawah pohon. Saya lupa, kalau itu bukan pohon angsana ya pohon asam. Anak laki-laki itu, melihat seragamnya, saya pastikan masih SMP.

“Kemana?” tanya saya setelah menepi tepat di dekatnya.

“Glagah,” jawabnya.

Saya iyakan saja. Sekalipun dengan begitu menjadikan saya tidak jadi lewat rute Dukun-Bungah-Manyar. Tetapi melambung lewat Blawi, Sooko, Glagah, Betoyo. Tidak apa-apa, toh nantinya juga akan tembus Manyar, Gresik, Surabaya....

“Ayo naik,” ajak saya.

Anak laki-laki SMP itu malah menoleh ke belakang. Dan sekali tepukan tangan, dua temannya muncul dari balik gapura. Oh, ini tidak hanya akan menjadi 3 in 1, tetapi  4 in 1. Saya harus rela menggeser duduk dengan risiko hanya sedikit saja pantat saya mendapatkan jok.

Pagi itu saya serasa sedang berakrobat; semotor berempat. Untunglah sampai ke tujuan tidak ada apa-apa. Kalau sampai celaka, terjatuh karena ban meletus, misalnya, tentu niat saya untuk berbuat baik itu akan berakibat tidak baik.****

Jumat, 08 Maret 2013

Apa Arti si Buah Bendo



ADA makna di balik nama. Ada doa diselipkan dalam sebuah nama. Sering begitu. Makanya, ketika si jabang bayi lahir, kedua orang tuanya akan sibuk mencarikan nama yang pas untuk anaknya. Kalau merasa tidak mampu, seringkali si ortu meminta nama ke seorang yang dituakan untuk buah hatinya.

Dengan kemajuan ilmu kedokteran, yang dengan alat tertentu bisa diketahui jenis kelamin janin jauh hari sebelum ia lahir ke dunia, menjadikan orang tua si bayi lebih dini lagi menyiapkan nama.

Masih tentang nama. Nama yang sering saya pakai sebagi tokoh dalam status Facebook saya; Bendo. Siapa dia? Ini tidak penting sebenarnya. Sekaligus ini sebuah rahasia, sebenarnya. Tetapi sudahlah.

Adalah Pak Gudel. Orang tinggi besar yang kalaulah ia brewok akan semakin terlihat sangar. Salah satu kesenangannya adalah memberi nama wadanan (julukan) untuk siapa pun. Mungkin ini semacam balas dendam atas yang dialaminya sendiri. Tak tahu saya darimana asalnya dan siapa oknum yang berbuat tega memberinya julukan Gudel padahal nama sebenarnya pemberian orang tuanya adalah  Sudirman.

Sudirman adalah nama orang besar. Itu, saya kira, disematkan kedua orang tuanya agar si Gudel, eh si Sudirman kecil, akan menjadi tokoh sebesar Jenderal Sudirman kalau sudah besar. Tetapi, nama, sebagaimana doa, tak selalu terkabulkan. Sudirman tetangga saya itu tidak pernah menjadi jenderal (dalam ludruk sekalipun), dan malah sukses sebagai pengusaha pembuat tahu. Dan Sudirman teman kerja saya malah sukanya memancing di laut, sekalipun ada temannya yang memanggil dengan sebutan Jenderal.

Lain pak Gudel, lain pula pak Celeng. Demi melanggengkan nama, ia menyematkan nama Genjik kepada anak lelakinya. Sebuah silsilah yang ‘parah’. Ini menjadikan saya ingat pelajaran bahasa Jawa ketika SD dulu: Anak celeng arane genjik. (Anak babi hutan namanya genjik)

Sekarang tentang Bendo. Betul, Sampeyan betul. Bendo adalah nama pohon sekaligus nama buahnya. Tubuh pohon bendo biasanya digosipkan sebagai tempat tinggal genderuwo, kuntilanak, wewegombel dan sebangsanya. Dengan bentuk akar yang menonjol pipih keluar, dengan pohon kekar tinggi menjulang, berdiam di bawahnya, apalagi sendiri, akan seperti ada yang meniup bulu kuduk.  Itu lebih karena termakan omongan tentangnya yang selalu berbau angker. (Angker, bukan Anker!)

Sekalipun angker, kami –saat itu saya masih anak-anak—sering ke bawah pohon bendo untuk luru buahnya yang berceceran sisa dimakan codot. Codot itu mungkin hanya nglamuti daging buahnya. Sementara buahnya, sebesar butiran kelereng, ditinggalkan begitu saja. Kalau sudah disangrai, Sampeyan tahu, rasa buah bendo itu akan mengalahkan gurihnya kacang. Tetapi bagi yang tidak tahan, memakannya akan menimbulkan rasa nggliyeng, semacam rasa fly.

Luru buah bendo di pagi hari, seringkali hasilnya tak seberapa. Ya karena yang bareng-bareng mencari banyak. Lain halnya kalau malam-malam. Buah bendo yang sudah masak (masak pohon), jatuh dengan bentuk buah yang masih utuh. Bulat sebesar keluwih atau sukun. Dengan seutuh itu, kita tinggal mengambilnya, tanpa luru satu per satu yang berserakan di tanah, di antara daun-daun bambu yang kering.

Mencari bendo malam-malam begitu, tidak semua orang berani. Ya, namanya sudah kadung kondang sebagai rumah hantu. Tetapi itu tidak berlaku bagi saya dan beberapa teman yang setiap malam tidur di musholla. Ini lebih sebagai tindakan yang lebih terpuji, tentunya. Ini bila dibandingkan dengan tindakan ‘kriminal’ dengan mencuri buah nangka, rambutan atau sebangsanya. Bendo itu, sekalipun pohonnya ada yang punya, mengambil buahnya tidak bisa dijerat dalam pasal pencurian. Hehe...

Saya tidak pernah apes ditemui si hantu dalam pencarian bendo di tengah malam begitu. Apes saya hanya satu, sekalipun saya mencari bendo itu secara bersama-sama teman yang menginap di musholla depan rumah saya, tetapi yang oleh Pak Gudel diberi gelar bendo cuma saya!*****

Minggu, 03 Maret 2013

Kegilaan

KEGILAAN adalah kau melakukannya begitu-begitu saja, dengan cara yang itu-itu saja, dan mengharapkan hasil yang berbeda.

-Albert Einstein