Rabu, 24 Oktober 2012

Kaleidoskop Markesot


Judul buku: New Markesot Bertutur
Penulis: Emha Ainun Nadjib
Pengantar/Editor: Kuskridho Ambardi
Penerbit: Mizan
Cetakan: I September 2012
Tebal: 471 halaman


SEKARANG zaman ‘bebas’. Anda boleh bicara apa saja tentang pemerintah di mana saja. Di warung-warung kopi, di gardu sambil bersiskamling, atau sambil main kartu gaple saat jagong bayi. Atau, bagi  yang punya kemampuan menulis, Anda bisa mengeluarkan keluh kesah Anda dalam bentuk tulisan dan dikirimkan ke surat kabar. Tidak dimuat karena Anda bukan pengamat politik ‘betulan’, sekarang tidak kurang wadah untuk memuntahkan mual-mual di otak Anda. Ada situs-situs jejaring sosial, atau blog-blog  gratisan. Dan Anda akan aman-aman saja. Sekencang apa pun Anda berteriak, kalau tidak sedang sangat apes, telinga Anda tidak akan ada yang menjewernya.

Ini beda dengan zaman Orde Baru dulu. Jangankan berteriak, berbisik ngrasani  pemerintah pun, hidup Anda bisa terancam! Tetapi selalu ada pemberani diantara para penakut. Dalam hal ini, walau hanya sebagai orang mbambung, Markesot termasuk yang tidak punya rasa takut. Ia saban hari Minggu selama tiga tahun (dari tanggal 26 Pebruari hingga 1 Januari 1992) selalu bertutur dalam alur yang kadang terkesan ngelantur. Sok pinter, sok alim. Kadang dibumbui dalil-dalil dalam bahasa Arab, tetapi kadang-kadang 'misuh' juga.

Tokoh rekaan dalam sebuah tulisan, seringkali ucapan-ucapan dalam dialog-dialognya, tidak bisa dimungkiri itu adalah juga ucapan-ucapan hati si penulisnya yang sedang meminjam mulut tokoh rekaannya. Dan, tidaklah terlalu salah menganggap si Markesot itu adalah wujud lain dari si Emha Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun. Yang egaliter, sedikit kosro, tetapi tidak tipis dalam pemahaman dan penguasaan medan. 

 Markesot Bertutur pertama kali dibukukan adalah setahun setelah kolom Cak Nun itu berhenti muncul dari edisi Minggu sebuah koran sore terbitan Surabaya. Dua tahun berikutnya muncul lagi buku Markesot Bertutur Lagi. Dan, September 2012 ini, Mizan menerbitkan lagi New Markesot Bertutur.

Dalam terbitan terbaru ini, para pembaca (pengagum tulisan Cak Nun utamanya) seolah diajak kembali ke masa lalu. Masa-masa awal tahun 90-an. Melihat lagi kaleidoskop sejarah di bawah kendali Orde Baru. Tentang Porkas, tentang penggusuran untuk proyek waduk Kedungombo, tentang gelaran Piala Dunia saat Maradona membuat gol tangan Tuhan, tentang robohnya tembok Berlin sampai perang teluk, tentang China yang masih dipimpim PM Li Peng. Pendek kata, Cak Nun menyuguhi kita gado-gado dalam kemasan dan olahan yang mak-nyus. Dengan gaya bahasa yang lincah (kadang genit), ia mengajak kita mentertawai (negeri) diri sendiri.

Tentang NU dan Muhammadiyah, meminjam salah satu tokoh teman Markesot yang digambarkan sedang sakit dan tengah dijenguk seorang tokoh Nahdlatul Ulama, ia menulis begini, “Saya ini tidak NU tidak Muhammadiyah. NU dan Muhammadiyah itu konco perjuangan. Mbok ojo gelut ae se..” (hal. 101).

Buku ini adalah kumpulan kolom. Dan kolom-kolom itu, tadinya, memang tidak diniatkan untuk dijadikan buku. Kolom mingguan itu ditulis dengan memungut tema apa saja yang sedang hangat dalam Minggu itu. Dan terbukti, Cak Nun yang saat-saat itu sedang sebagai sungai yang tiada kehabisan ‘air’, punya napas kuat untuk selalu menuangkan renungannya dalam gaya penulisan yang, menurut budayawan Mohamad Sobary, mengajak orang harus telaten untuk mencari ‘mutiara’ yang dia sampaikan dengan aneka bungkus.

Seperti kata Kang Sobary di atas, memang banyak sekali mutiara yang ditebar Cak Nun dengan bahasa yang enteng dan tidak njlimet. Misalnya tentang kehidupan, begini dia melukiskan, “Urip itu urap. Mengaduk. Mencampur. Mempergaulkan. Menyentuhkan satu unsur dengan unsur lain. Makanya, makanan ini disebut urapan. Kalau di Jawa Tengah disebut gudangan. Maksudnya, urapan itu seperti halnya banyak barang di gudang. Campur. Itulah urip. Itulah kehidupan...” (hal. 366)

Begitulah. Kolom yang kala itu memang dibuat khusus untuk sebuah koran sore yang saat itu sedang kuat-kuatnya secara tiras di Surabaya, bahasa yang dipakai seringkali memang bahasa Suroboyoan. Yang egaliter, dan sesekali berhias pisuhan juga. Tetapi, dengan gayanya yang khas, pisuhan ala Suroboyo yang sekarang juga sering dikumandangkan Sudjiwo Tejo itu, oleh Cak Nun dijlentrehkan dengan gambaran yang enteng. Bahwa pisuhan made in Suroboyo itu akan tidak berarti pisuhan bila dalam rasa bahagia bertemu sahabat kental dan dengan lantang (sambil tertawa) memekikkan kata-kaka itu. ‘Pisuhan’ itu menjadi sekadar idiom budaya. Maknanya menjadi relatif, tergantung konteks komunikasinya. Kita tidak dapat menghakimi ekspresi seseorang hanya dengan melihat bunyi kata-katanya, melainkan kita harus perhatikan nadanya, nuansanya, letak masalahnya. Kata ahli ilmu fiqih: yaduru ‘ala ‘illatihi. (hal. 38)

Sebagai buku kumpulan kolom, lebih-lebih kolom-kolom itu diterbitankan nyaris duapuluh tahun yang lalu, menjadikan para pembaca buku ini yang usianya di bawah 30 tahun, saya khawatir mereka ini akan sulit menemukan ‘sesuatu’ yang melatar belakangi sebuah bahasan. Ini dikarenakan, setiap judul itu tidak dicantumkan terbit tanggal dan tahun berapa.

Itu soal lain.
Sebagai penulis, Cak Nun memang mempunyai gaya yang khas. Sekaligus tulisan yang dibuat bertahun-tahun lalu itu tetap terasa relevan mengambarkan keadaan kita saat ini.  Ia bisa dengan cerdas, lewat mulut Markesot, menerjemahkan hal-hal ruwet dengan cara sepele, lewat cara pandang para orang mbambung. Ia bisa dengan enteng bilang, “Tidak ada yang lebih siluman dibanding dengan kenyataan-kenyataan di negeri ini.” Sementara pada bab lain dia berkata, “... zaman ini sudah sedemikian semrawut: siapa Ibrahim siapa Fir’aun, sudah samar. Struktur persoalan sudah sedemikian kompleks. Terkadang kita adalah Ibrahim, terkadang kita Fir’aun, terkadang kita adalah kayu bakar, terkadang kita adalah api yang menyala-nyala.” (hal. 53)

Buku bagus ini memang tidak seratus persen suci dari ‘hadats kecil’ macam kesalahan tulis yang lolos dari pelototan editor. Misalnya di halaman 125. Dalam judul Tukar –menukar Kunci Distribusi Suami-Istri, pada paragraf akhir Cak Nun yang memang juga penyair ini sedang membuat tokoh utama buku ini berada dalam situasi hati yang galau. Markesot jadinya makin nglangut di biliknya. Bercinta dengan sunyi. “Sunyi itu kudus,” katanya berpuasa. Menurut saya, kalimat itu harusnya ; “Sunyi itu kudus,” katanya berpuisi.

Sekalipun sering mengkritik Orde Baru dengan gayanya yang kadang ‘nylekit’ dan mengagetkan, toh di saat-saat terakhir kekuasaan presiden Soeharto, Cak Nun  termasuk salah satu tokoh yang diajak bicara oleh pak Harto untuk menentukan sikap atas desakan massa yang menginginkan ia mundur dari jabatan presiden yang telah digenggamnya selama 32 tahun. Dengan gayanya yang mbeling, Cak Nun termasuk salah seorang tokoh yang berhasil turut membujuk Pak Harto untuk lengser saja.

Dan kalimat mbeling itu diucapkan pula oleh pak Harto dalam jumpa pers sesaat setelah pertemuan yang digelar minus Amien Rais itu. “....bahkan ada yang bilang, tidak jadi Presiden tidak pathek’en,” kata Pak Harto sambil melirik Cak Nun yang berdiri di belakangnya.

Sama, tidak membaca buku ini pun Anda tidak akan pathek’en, tidak akan kudisan.  Tetapi dengan membacanya, kita bisa tahu banyak hal dalam perspektif seorang budayawan asal Jombang ini. Dan, tahu adalah lebih beruntung dari pada tidak tahu. Lebih rugi lagi adalah bila tidak tahu tetapi tidak tahu kalau dirinya tidak tahu. *****

Jumat, 19 Oktober 2012

Lakukan Sekarang

SEKARANG atau nanti saya tetap harus melakukan ini, maka saya memilih sekarang.

(Bruce Lee)

Rabu, 10 Oktober 2012

Siasat Malaikat


SUATU pagi, dari dalam rumah, saya mendengar isteri saya menolak dengan halus tawaran seorang penjual untuk membeli dagangannya. Karena dialog singkat itu saya dengar dari dapur, saya kurang mengerti apa barang dagangan yang ditawarkan kepada isteri saya itu. Begitu saya keluar, sambil mengenakan sepatu untuk bersiap berangkat kerja, saya tanya lebih rinci dialog yang saya dengar samar-samar itu.

“Itu, ada bapak tua menjajakan lampu minyak yang dibikin dari bekas botol minuman suplemen,” kata isteri saya. “Sebenarnya sih  kasihan; sudah tua, masih berjalan menjajakan dagangan. Tetapi dagangannya itu, sungguh kurang berguna di zaman serba listrik ini. Harganya lima ribu lagi.”

Tentu saya bilang tindakan isteri saya itu kurang tepat. Kita harus menghargai seseorang yang mau ‘bekerja’ dalam kondisi yang sudah renta. Ini bila dibanding dengan orang yang usianya masih belum terlalu tua tetapi malah berkeliling dari rumah ke rumah, masuk-keluar kampung dengan hanya menadahkan tangan; mengemis. Dilihat dari sudut manapun, sekalipun lampu minyak itu sudah tidak zaman, dengan membelinya, kita bisa menghargai sebuah jerih payah.

Sialnya, sambil berangkat kerja, saya cari bapak tua yang saya perkirakan belum begitu jauh dari gang rumah saya, tidak ketemu. Waduh, kalau bapak tua tadi adalah jelmaan malaikat yang sedang turun menguji watak isteri saya bagaimana? Bukanlah tidak tertutup kemungkinan, dalam menjalankan tugasnya, malaikat juga sesekali punya siasat berpakainan preman. Menyamar menjadi pengemis, atau ibu tua yang suatu siang kehabisan uang di sebuah terminal, atau menjadi bapak tua penjual lampu minyak...

Lain lagi cerita yang dituturkan seorang teman. Kala itu di kampungnya ada seorang tetangga yang baru saja panen padi. Di teras rumahnya ada beberapa karung gabah kering siap giling. Sementara, di ba’an ( halaman depan rumah yang diplester semen sebagai tempat menjemur hasil panen) ada terhampar butiran padi yang sedang dikeringkan dengan memanfaatkan panasnya sinar matahari. Datanglah seorang lelaki yang belum begitu tua. Dengan pakaian yang sedemikian rupa, plus gayanya, sudah bisa ditebak, ia adalah seorang pengemis.

Si tetangga teman saya itu paham betul akan maksud kedatangannya. Tetapi ia sedang punya maksud lain. Begini tanyanya kepada pengenis yang belum tua itu, “Kamu kuat memanggul sekarung gabah?”
Dengan wajah sumringah karena mengira akan diberi sekarung gabah, pengemis itu dengan mantap bilang, “Kuat, tuan. Saya tentu saja kuat memanggul sekarung gabah kering.” Dalam hatinya saya membayangkan pengemis itu sedang mengira-ngira harga sekarung gabah kering. Pastilah lumayan mahal.

Dan inilah pukulan telak dari si tuan yang sedang panen padi itu, “Kalau kamu masih kuat memanggul sekarung gabah, tentu tidak pantas kamu datang kesini hanya dengan menadahkan tangan meminta-minta begini....”

Dalam imajinasi, saya bisa membayangkan reaksi wajah kecut si pengemis, sekaligus senyum tajam si tuan.

TADI malam, melintaslah seorang pedagang tua di gang depan rumah yang memang buntu ini. Dari aroma yang mengepul plus suara semacam peluit yang khas, saya tahu dia penjual kue putu. Tetapi ketika saya baca tulisan di kaca gerobaknya, ternyata ia juga menjual kue klepon. Dua jajan tradisional yang memang saya suka. Sepertinya sudah lama sekali saya tidak makan putu. Untuk klepon, seminggu yang lalu saya masih membelinya di Gempol sana. Tetapi kali ini saya akan membeli klepon lagi. Suka sih...

Klepon itu, yang selalu diwarna hijau itu (semoga bukan pewarna terkstil), adalah jajanan berbahan tepung ketan yang dimasak sedemikian rupa, dengan taburan parutan kelapa, dan ketika kita memakannya dengan cara menjepit klepon itu pakai lidah yang ditekan kelangit-langit mulut, mak-ceplus, gula merah langsung pecah. Kenyil-kenyil, ada gurih dan ada manis...

Saya tunggu bapak tua itu di depan rumah. Karena gang ini buntu, setelah mentok di timur sana, pastilah ia akan balik kanan grak dan lewat lagi di depan rumah saya. Oh, rupanya ada tetangga saya yang juga mencegatnya. Tidak seperti saya, ia mengincar kue putu yang dengung asapnya menguarkan aroma pandan itu memang menggugah selera. 

Dari jarak sekitar lima meter dari tempat saya berdiri, saya lihat penjual tua dengan gerobak yang juga sudah tua itu cekatan sekali meladeni pembeli. Ia meletakkan adonan tepung ketan sebagai bahan jajan putu ke sebuah tabung bambu yang kemudian diletakkan di lubang yang mengeluarkan asap itu. Terus saja saya perhatikan cara memasaknya. Ya, kue putu itu dikukus. Ada semacam kaleng berbentuk kotak berisi air sebagai alat pengukusnya. Ada bagian kaleng yang muncul sekitar sepuluh centi dari permukaan meja gerobaknya. Dari situ saya tahu, kaleng itu bukan semacam alat pengukus khusus. Dari tulisan yang masih jelas saya baca, kaleng itu bekas wadah lem. Nah.

Saya menjadi kurang bernafsu membeli jajan ke penjual tua itu. Memang saya bukan bermaksud membeli putu yang ternyata dikukus pakai kaleng bekas wadah lem itu, saya nawaitu sedang akan membeli klepon. Tetapi warna hijau sebagai warna khas klepon, jangan-jangan sungguh memakai pewarna pakaian...

Niatan saya untuk menghargai seseorang yang dalam mencari rezeki masih mau bekerja dan tidak hanya meminta-minta, gara-gara kaleng lem itu, menjadi berantakan. Ini lebih karena saya terlalu banyak berpikir. Padahal, tadinya saya berniat untuk membantu, --kalau beruntung-- siapa tahu itu adalah malaikat yang sedang menyamar sebagai penjual klepon.

Pada situasi begitu, saya menjadi ingat sebuah ungkapan. Jangan menunda maksud baik yang keluar dari hati pertama kali. Karena biasanya itu murni. Dengan menunda beberapa saat saja, maka akan timbul pertimbangan-pertimbangan ini-itu, yang bisa jadi itu adalah bisikan setan. *****